Menguji Efektivitas Skema Koperasi Atasi Tambang Timah Ilegal

Menguji Efektivitas Skema Koperasi Atasi Tambang Timah Ilegal

Bisnis.com, JAKARTA — Upaya menggandeng koperasi untuk melegalkan tambang timah ilegal dinilai menjadi opsi cepat untuk memperbaiki tata kelola pertambangan nasional.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy menilai aktivitas penambangan timah ilegal saat ini dilakukan warga di sekitar permukiman sehingga pendekatannya dinilai perlu lebih bijak dan berbeda dengan tambang ilegal batu bara atau nikel.

“Yang disebut tambang timah ilegal itu merupakan kegiatan penggalian yang dilakukan warga setempat dari lahan di area pemukiman. Jadi memang cara penanganannya harus lebih bijak dibandingkan tambang ilegal komoditas lain,” ujar Sudirman kepada Bisnis, Jumat (24/10/2025).

Aktivitas tambang ilegal timah belakangan disoroti lantaran merugikan negara hingga triliunan. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto mengatakan telah memerintahkan untuk menutup 1.000 tambang timah ilegal di Bangka Belitung.

Bahkan, Prabowo menyebut selama ini sekitar 80% hasil timah Indonesia diselundupkan ke luar negeri melalui berbagai jalur, mulai kapal hingga feri.

Kondisi ini pun menjadi perhatian besar, mengingat Indonesia memiliki cadangan timah yang cukup besar. Cadangan timah Indonesia mencapai 6,43 miliar ton dalam bentuk bijih dan 1,43 juta dalam bentuk logam pada 2024. Angka tersebut naik dibanding 2023 yang hanya mencapai 6,36 miliar ton untuk bijih dan 1,36 juta ton untuk logam.

Namun, produksi timah pada 2024 hanya mencapai 39.814 ton, turun dibanding 2023 yang mencapai 67.600 ton. Untuk sumber daya timah, jumlahnya mencapai 8,27 miliar ton dalam bentuk bijih per 2024, naik dibanding 2023 yang mencapai 8,08 miliar ton.

Untuk total sumber daya timah dalam bentuk logam mencapai 2,53 juta ton per 2024, turun dibanding 2023 yang mencapai 2,71 juta ton.

Untuk mengatasi polemik tambang ilegal dan mengoptimalkan potensi dalam negeri, Sudirman melihat upaya perusahaan pelat merah, PT Timah Tbk yang tengah mencari cara agar aktivitas penambangan warga di wilayah izin usaha perusahaan bisa dilegalkan.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Nanggala untuk menertibkan tambang ilegal menjadi legal melalui pemberdayaan koperasi dan mitra.

“Jika opsi itu bisa dilakukan guna memastikan agar aktivitas yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak di sektor timah dapat terus berjalan,” tuturnya.

Namun, dia menekankan bahwa PT Timah Tbk harus melakukan pembimbingan kepada koperasi yang dijadikan mitra tersebut agar praktik penggalian atau penambangan yang dilakukan koperasi mitra atau warga tetap dapat memenuhi kaidah good mining practice.

“Seperti misalnya tetap melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup, melakukan reklamasi tambang, dan lainnya,” terangnya.

Senada, Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Harwendro Adityo Dewanto menilai model koperasi bisa menjadi jalan tengah. Namun, tetap kembali pada kebijakan dari pemerintah.

“Kalau boleh, kami dari asosiasi menyarankan agar izin penambangan rakyat [IPR] diterbitkan. Tentunya harus ada penetapan wilayah tambang rakyat lebih dulu,” ujar Harwendro saat ditemui, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, pelibatan masyarakat dalam kegiatan tambang dapat diatur melalui mekanisme IPR dan penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Dengan begitu, kegiatan tambang rakyat bisa legal sekaligus memberi manfaat langsung bagi ekonomi lokal.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Tri Winarno menjelaskan, dasar hukum penerbitan IPR sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Prosesnya dimulai dari usulan bupati kepada gubernur untuk menetapkan wilayah pertambangan (WP), yang di dalamnya termasuk wilayah pertambangan rakyat (WPR).

“WPR itulah yang ditetapkan nantinya WP. Yang keseluruhan dalam satu provinsi ditetapkan oleh Menteri. Setelah nanti ada juga masukan dari Badan Geologi apakah daerahnya itu potensial atau tidak,” ujar Tri di Jakarta, Jumat (24/10/2025).

Tri menambahkan, izin pertambangan rakyat tidak dikenakan royalti, melainkan retribusi dalam bentuk iuran pertambangan rakyat (IPERA). Namun, implementasinya di lapangan masih memerlukan koordinasi lintas daerah serta penyusunan dokumen lingkungan sebelum izin bisa diterbitkan.

“Dari WPR itu dibuatlah dokumen namanya dokumen pengelolaan WPR. Terus dari dokumen pengelolaan WPR itu dilanjut dengan Dokumen Lingkungan. Nah, setelah itu baru mengajukan ke WPR-nya. WPR-nya oleh gubernur,” pungkasnya.