Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Menguak Psikologi Tersembunyi dalam Proses Mencoblos

Menguak Psikologi Tersembunyi dalam Proses Mencoblos

Jakarta

Pemungutan suara dilakukan berdasarkan keputusan yang rasional? Belum tentu. Menurut sebuah penelitian, kita mungkin tidak bisa mengendalikan preferensi kita.

Reaksi kita, tanpa disadari mungkin mengungkapkan lebih banyak hal tentang kita sendiri, bahkan mungkin mengungkapkan kecenderungan politik kita.

“Kita mungkin tidak bisa mengendalikan suara kita sendiri seperti yang kita pikirkan, menurut banyak psikolog. Pendidikan, layanan kesehatan, dan perekonomian merupakan hal yang penting, namun pilihan pemilih juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari seberapa mudahnya orang merasa takut atau jijik, hingga bagaimana mereka bereaksi terhadap cuaca,” tulis Zaria Gorvett, jurnalis senior dan pemenang penghargaan BBC Future.

Pengambilan Keputusan

Keputusan sadar kita secara rutin dipengaruhi oleh proses berpikir bawah sadar, emosi dan prasangka. Jon Krosnick, profesor ilmu politik di University of Stanford, mengabdikan karirnya meneliti fenomena ini.

“Apa yang kita ketahui dari ilmu psikologi adalah Anda dapat membagi otak menjadi dua bagian. Faktanya, semua pengambilan keputusan dilakukan secara tidak sadar,” kata Krosnick seperti dikutip dari BBC.

Krosnick berpendapat bahwa selama acara debat yang disiarkan televisi, meskipun para pemilih mendengarkan para kandidat, ada faktor-faktor lain yang bisa mempunyai dampak yang sama besarnya, atau bahkan lebih besar, terhadap keputusan para pemilih.

Ia mengambil contoh Pilpres AS tahun 2008. Krosnick dan rekan-rekannya menemukan bahwa pada pemilu, banyak pemilih lebih dipengaruhi oleh etnisitas para kandidat, yakni Barack Obama dan John McCain. Orang-orang dengan skor prasangka rasial implisit yang lebih tinggi, yang secara tidak sadar mereka miliki, lebih kecil kemungkinannya untuk memilih Obama.

Rasa Jijik

Yoel Inbar, seorang profesor psikologi di University of Toronto, mempelajari hal tersembunyi lain yang mungkin mempengaruhi pilihan kita, yaitu melalui hal-hal yang memicu perasaan jijik.

Penelitian Inbar menempatkan partisipan yang diuji pada ‘skala jijik’, meminta partisipan menilai persetujuan mereka terhadap pernyataan dan situasi yang menjijikkan hingga menyayat hati. Kemudian, subyek kemudian ditanyai tentang ideologi politik mereka. Ia menemukan bahwa mereka yang lebih mudah merasa jijik cenderung konservatif secara politik

“Pada dasarnya kami memiliki data yang bagus di setiap wilayah di dunia kecuali Afrika Sub-Sahara. Dan kami melihat hubungan yang cukup konsisten”, kata Inbar.

Inbar percaya bahwa hubungan politik dan moral dengan rasa jijik dan penyakit dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi biologi masa prasejarah.

Ketika orang-orang mulai menghabiskan lebih banyak waktu dalam kelompok sosial yang besar, mereka mengembangkan serangkaian perilaku yang akan meminimalkan risiko tertular penyakit, yang oleh para psikolog disebut sebagai ‘sistem kekebalan perilaku’.

Mood Saat Memilih

Penelitian lain menunjukkan bahwa perasaan kita pada hari itu mungkin juga berpengaruh. Sebuah studi menemukan bahwa membuat orang berpikir tentang penyakit, dapat mendorong mereka berpikir negatif tentang perbedaan ras.

Demikian pula, sebuah penelitian di AS pada tahun 2014 menemukan bahwa orang-orang yang merasa tidak enak badan lebih cenderung memilih kandidat yang menarik dibandingkan lawan mereka yang kurang menarik secara fisik.

“Sikap yang berasal dari sistem kekebalan perilaku adalah hal-hal yang cenderung kita anggap konservatif secara sosial,” kata Inbar.

“Hal-hal tersebut adalah tentang menghindari kelompok yang tidak Anda kenal, tentang mengikuti praktik sosial tradisional, dan tentang pembatasan seksual. Jijik adalah emosi yang benar-benar mengatakan ‘hei jangan lakukan itu, jauhi itu, itu berbahaya bagimu’,” ujarnya.

Menariknya, dalam eksperimen lain, Inbar dan rekannya menemukan bahwa membuat orang merasa jijik seperti menggunakan bau tak sedap di dalam ruangan, membuat mereka untuk sementara lebih cenderung menjauhi kelompok minoritas tertentu, misalnya kaum homoseksual.

Implikasinya adalah bahwa kampanye politik dan komentar media yang menggunakan pemicu rasa jijik, misalnya mengatakan kebijakan ‘kotor’, mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap sebagian orang.

Selanjutnya: Rasa Takut hingga Cuaca Pengaruhi Pemilih