Menggali Makna Spirit Sosial Lailatul Qadr dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

Menggali Makna Spirit Sosial Lailatul Qadr dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

Lailatul Qadr, atau Malam Kemuliaan, merupakan salah satu malam yang paling ditunggu-tunggu dalam bulan Ramadan. Dalam tradisi Islam, malam ini diyakini sebagai waktu di mana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan Lailatul Qadr tidak hanya terletak pada nilai spiritualnya, tetapi juga pada dampak sosial yang dapat ditimbulkannya. Dalam konteks ini, penting untuk menggali makna spirit sosial yang terkandung dalam malam yang penuh berkah ini, terutama melalui tafsir yang mendalam seperti yang terdapat dalam Mafatih Al Ghaib.

Tafsir Mafatih Al Ghaib memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai berbagai aspek ajaran Islam, termasuk Lailatul Qadr. Melalui tafsir ini, kita dapat memahami lebih dalam tentang bagaimana malam ini tidak hanya menjadi momen ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas sosial di antara umat. Dalam masyarakat yang sering kali diwarnai oleh perpecahan dan ketidakadilan, spirit sosial yang terkandung dalam Lailatul Qadr dapat menjadi pengingat akan pentingnya persatuan dan kerja sama dalam membangun komunitas yang lebih baik.

Melalui artikel ini, penulis berupaya untuk menggali lebih dalam makna spirit sosial Lailatul Qadr dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana malam yang penuh berkah ini dapat menjadi pendorong bagi individu dan masyarakat untuk berbuat lebih banyak dalam menciptakan lingkungan yang harmonis dan berkeadilan. Dengan demikian, Lailatul Qadr tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga sebuah panggilan untuk aksi sosial yang nyata.

Menggali Makna Spirit Sosial Lailatul QadrIlustrasi malam lailatul qadar. – (Freepik/-)

Di sepuluh terakhir bulan Ramadan, term Al-Qur’an Lailatul Qadr senantiasa menjadi “mesin” motivasi masyarakat Muslim dalam peningkatan spiritual. Mayoritas mereka termotivasi dengan keistimewaan dan nilai pahala yang terkandung dalam term Al-Qur’an tersebut. 

Selain itu, didukung dengan redaksi Al-Qur’an yang jelas dalam menjelaskan keistimewaan Lailatul Qadr, khair min alfi sahr, lebih baik dari seribu bulan. Namun, kebanyakan nalar masyarakat hanya terbatas sampai redaksi tersebut, yakni ayat ketiga surat Al-Qadr. 

Padahal, Al-Qur’an telah memberikan isyarat bahwa ayat setelahnya memiliki keterkaitan yang tentunya memiliki kesatuan makna yang tak terpisahkan. Maka dalam tulisan ini, penulis akan mengawali pembahasan dengan langsung fokus di ayat keempat surat Al-Qadr:

Pada saat menafsirkan surat Al-Qadr ayat keempat, tanazzalu al-malaikah wa al-ruh fiha bi idzni rabbihim min kulli amr, Fakhruddin Al-Razi mengurai karakteristik ungkapan:

اعلم أن نظر المالئكة على األرواح ، ونظر البشر على األشباح

Artinya: Ketahuilah bahwa yang dipandang oleh malaikat adalah dimensi ruh, sedangkan yang dipandang oleh manusia adalah dimensi fisik.

Menurut Al-Razi, jika para malaikat menemukan hati manusia menjadi tempat bersemayamnya sifat-sifat tercela seperti marah dan syahwat duniawi, maka mereka enggan mendekatinya. Sebagaimana manusia yang merasa jijik melihat bentuk anaknya yang masih berupa air mani atau gumpalan darah, tetapi langsung menerimanya ketika Allah menciptakan dan membentuknya dalam rupa yang sempurna. 

Begitu juga dengan malaikat. Ketika mereka melihat ruh manusia dalam kondisi yang baik, berisi makrifat dan ketaatan kepada Allah, mereka sangat menyukai hal itu dan akan turun ke bumi untuk mendatanginya (Tafsir Mafatihul Ghaib Juz 16).  Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, karakteristik malaikat yang menyukai pribadi-pribadi manusia yang bersih. 

Kedua, fungsi keberadaan malaikat yang mengiringi turunnya Al-Qur’an pada malam mulia tersebut.  Selanjutnya, pada penggalan ayat berikutnya dijelaskan bahwa turunnya malaikat terikat dengan izin Tuhan, bi idzni rabbihim. 

Al-Razi menjelaskan bahwa ketergantungan malaikat terhadap izin Tuhan menunjukkan bahwa mereka memiliki kerinduan besar untuk bertemu dengan penduduk bumi, tetapi terhalang oleh ketetapan-Nya. Jika mendapatkan izin, mereka turun; jika tidak, mereka tetap di langit. Menurut Al-Razi, faktor yang menyebabkan para malaikat sangat ingin turun adalah adanya kebaikan-kebaikan makhluk bumi yang tidak pernah terjadi di langit, yaitu:

أن الأغنياء يجيئون بالطعام من بيوتهم فيجعلونه ضيافة للفقراء والفقراء يأكلون طعام الأغنياء ويعبدون الله

Artinya: Para dermawan membawa makanan dari rumahnya, makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan bagi orang-orang fakir. Kemudian, orang-orang fakir tersebut memakan makanan tersebut dan mereka beribadah kepada Allah SWT.

أنهم يسمعون أنين العصاة

Artinya: Para malaikat mampu mendengar rintihan para pendosa.

أنه تعالى قال : ألنين المذنبين أحب إلي من زجل المسبحين

Artinya: Allah berfirman: “Rintihan para pendosa lebih Aku cintai daripada orang yang banyak bertasbih.” (Tafsir Mafatihul Ghaib Juz 16)

Dari tiga sebab ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa ada dua hal yang menyebabkan para penduduk langit tertarik dengan penduduk bumi, yaitu spiritual individu dan spiritual sosial.

Spiritual individu di sini digambarkan dengan proses pensucian diri. Para penduduk bumi yang melakukan penyucian jiwa dari sifat-sifat negatif menebarkan “aroma” spiritual yang menyebabkan penduduk langit tertarik. Cara penyucian jiwa tersebut dilakukan dengan meminimalisir amarah syaithaniyyah, belenggu syahwat duniawi, dan perbuatan-perbuatan yang bisa mengotori hati. Sehingga, pada saat hati berada dalam proses pensucian, para malaikat yang terbuat dari cahaya suci “rindu” ingin segera menemui jiwa-jiwa yang suci.

Selain spiritual individu, spirit sosial juga menjadi bagian penting untuk diperhatikan karena dua hal ini merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan oleh para pencari keistimewaan Lailatul Qadr. Potret spirit sosial yang dijelaskan Al-Razi dalam tafsir membentuk sebuah prinsip serta nilai spirit sosial dalam Lailatul Qadr. 

Gambaran Al-Razi tentang para dermawan yang memberi jamuan kepada fakir miskin, dan fakir miskin yang dalam keadaan kenyang beribadah, memberikan isyarat bahwa jika manusia ingin mendapatkan keistimewaan Lailatul Qadr dan “didatangi” oleh para malaikat, maka ia harus memiliki prinsip-prinsip sosial seperti kepedulian terhadap sesama, solidaritas, partisipasi aktif, empati, tanggung jawab sosial, serta keadilan sosial.

KesimpulanMalam lailatulqadar adalah malam yang memiliki keutamaan luar biasa dalam Islam. Keutamaannya disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, terutama dalam surah Al-Qadr. – (Pixabay/Bru-No)

Berdasarkan Tafsir Mafatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Al-Razi, Lailatul Qadr memiliki makna quranic yang sangat luas. Lailatul Qadr ditafsirkan sebagai fungsi sosial dalam pembentukan karakter masyarakat Qurani. Pencarian keistimewaan Lailatul Qadr tidak cukup hanya dengan meningkatkan ibadah individual di sepuluh terakhir bulan Ramadan, tetapi harus diawali dengan pensucian diri dan penerapan prinsip-prinsip sosial agar jiwa kita “dikenal” oleh para penduduk langit.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)