Mengevaluasi Beban Anggaran Tunjangan DPR Nasional 26 Agustus 2025

Mengevaluasi Beban Anggaran Tunjangan DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Agustus 2025

Mengevaluasi Beban Anggaran Tunjangan DPR
Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
UNJUK
rasa yang digelar pada 25 Agustus 2025, di depan Gedung DPR-MPR RI Jakarta, bukan sekadar momen protes biasa.
Aksi massa yang menolak pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan kepada anggota DPR mencerminkan krisis kepercayaan terhadap lembaga legislatif.
Bukannya membuka ruang dialog, aparat justru bertindak represif dengan membubarkan massa menggunakan
water cannon
, gas air mata, dan pentungan, padahal aksi belum melewati batas waktu yang diatur undang-undang.
Kejadian ini menegaskan kenyataan pahit bahwa “rumah rakyat” kini semakin tertutup, secara harfiah dan simbolik, bagi suara rakyat.
Penolakan atas tunjangan tersebut berakar pada ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin mencolok.
Berdasarkan data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), total penghasilan anggota DPR bisa mencapai Rp 230 juta per bulan, sebelum penambahan tunjangan perumahan (
Kompas.id
, 25/08/2025).
Jumlah ini setara 42 kali upah minimum di Jakarta, dan lebih dari 100 kali lipat UMR terendah di Indonesia, yakni Banjarnegara.
Di tengah tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat luas, penghasilan sebesar itu dianggap tidak adil, bahkan provokatif.
Yang juga menjadi sorotan adalah fisik dan tata ruang kompleks DPR-MPR RI yang kini dibentengi pagar tinggi dan barikade kokoh. Pagar yang menjulang itu secara nyata memisahkan wakil rakyat dari rakyatnya.
Tidak hanya simbol keterpisahan, tetapi menjadi bukti nyata bahwa DPR kini lebih sibuk melindungi kenyamanannya ketimbang menyerap aspirasi konstituennya.
Massa pun hanya bisa menyuarakan keluhannya di jalanan, menyebabkan kemacetan, frustrasi sosial, dan konfrontasi dengan aparat.
Fenomena ini harus dilihat dalam konteks demokrasi modern. Dalam bukunya
On Democracy
, Robert A. Dahl (1998) mengatakan bahwa demokrasi menuntut terbukanya ruang partisipasi dan komunikasi antara rakyat dan wakilnya.
Jika ruang itu ditutup (secara fisik maupun politik), maka negara kehilangan ciri utamanya sebagai negara demokratis.
Senada dengan Dahl, Peter Mair (2013) dalam
Ruling the Void: The Hollowing of Western Democracy
menyebutkan bahwa semakin jauhnya elite politik dari rakyat menciptakan krisis legitimasi.
Ketika suara rakyat tidak lagi dianggap penting, maka sistem perwakilan kehilangan dasar moral dan politiknya. Situasi semacam ini membuka jalan pada apatisme, radikalisme, dan gerakan tandingan yang justru mengancam stabilitas negara.
Di Indonesia, kekhawatiran semacam itu sudah mulai terasa. Massa aksi di depan DPR pada 25 Agustus, tidak hanya menuntut pembatalan tunjangan, tetapi juga meneriakkan yel-yel pembubaran DPR.
Ini bukan sekadar bentuk kekecewaan, melainkan gejala ketidakpercayaan sistemik terhadap parlemen. Apalagi, seperti diakui salah satu peserta aksi kepada
Kompas.id
, para pengunjuk rasa berasal dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari mahasiswa, pelajar, pekerja informal, hingga pedagang kaki lima.
Ini menandakan bahwa protes tersebut bukan digerakkan oleh elite oposisi, tetapi merupakan ekspresi organik dari rakyat biasa (
Kompas.id
, 25/08/2025).
Sayangnya, alih-alih mendengar suara tersebut, negara merespons dengan kekuatan represif. Tindakan membubarkan massa sebelum waktunya, tanpa eskalasi kekerasan yang memadai, mencederai prinsip hak asasi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Bahkan, Menteri Koordinator Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengakui bahwa menyuarakan aspirasi, termasuk usulan pembubaran DPR, sah saja dilakukan dalam demokrasi, selama dilakukan secara tertib dan damai (
Kompas.id
, 25/08/2025).
Perlu dicatat bahwa tidak ada institusi demokratis yang sakral atau kebal dari kritik, termasuk DPR. Ketika lembaga legislatif justru menjadi beban anggaran dan gagal menunjukkan kepekaan terhadap kesulitan ekonomi rakyat, maka seruan pembubaran bukan sekadar agitasi, tapi peringatan keras.
Demokrasi menuntut adanya kontrak sosial yang adil. Jika wakil rakyat hanya fokus pada kenyamanan pribadi, maka legitimasi moralnya sebagai “representasi rakyat” patut dipertanyakan.
Argumen pembelaan yang kerap disampaikan anggota DPR bahwa pendapatan tinggi dibutuhkan untuk operasional di daerah pemilihan, masih belum ditunjang oleh transparansi data.
Aria Bima, anggota DPR dari PDIP, misalnya, menyebut dana dibutuhkan untuk ambulans, mobil tangki air, dan sanggar tari (
Kompas.id
, 25/08/2025).
Namun sejauh ini, belum ada laporan resmi terbuka yang bisa diaudit publik mengenai alokasi dana tersebut. Tanpa akuntabilitas, argumen semacam itu hanya memperdalam kecurigaan masyarakat.
Demokrasi sejatinya dibangun atas dasar kepercayaan dan partisipasi. Jika wakil rakyat gagal mendengarkan suara konstituennya, dan negara terus meminggirkan hak menyatakan pendapat dengan cara represif, maka krisis demokrasi akan menjadi keniscayaan.
Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang pemilu setiap lima tahun, tetapi juga jaminan bahwa setiap warga negara bisa didengar, tanpa harus berhadapan dengan gas air mata dan pentungan aparat.
DPR dan pemerintah perlu segera merespons sinyal darurat ini. Pertama, dengan mengevaluasi kembali seluruh bentuk tunjangan yang tidak rasional dan tidak selaras dengan kondisi ekonomi nasional.
Kedua, membuka kembali akses fisik dan simbolik ke lembaga parlemen agar rakyat merasa memiliki tempat menyampaikan aspirasi.
Ketiga, menginstruksikan aparat keamanan untuk mengedepankan pendekatan persuasif dan menjamin hak konstitusional rakyat.
Jika tidak, maka kita sedang menyaksikan proses “penghampaan” demokrasi, sebuah sistem yang hanya tersisa bentuknya, tetapi kosong dari semangat partisipasi dan keadilan sosial.
Maka, pagar tinggi di DPR bukan sekadar beton dan besi. Ia adalah metafora ketertutupan, jarak, dan kegagalan sistem yang mestinya mewakili dan melayani rakyat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.