Jakarta – Kasus kaburnya narapidana dari Lapas Kelas IIB Kutacane baru-baru ini menyoroti permasalahan mendalam yang dihadapi lembaga pemasyarakatan, terutama yang mengalami over-kapasitas. Kejadian ini mengindikasikan lemahnya sistem pengamanan, minimnya jumlah petugas dibandingkan dengan jumlah narapidana, serta kondisi lapas yang sudah tidak layak untuk menampung WBP dalam jumlah besar. Bayangkan pada saat kejadian hanya ada enam petugas menjaga 373 narapidana.
Over-kapasitas dialami hampir di semua lapas/rutan di Indonesia. Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan pada Maret 2025 total kapasitas seluruh lapas/rutan adalah 145.829 sedangkan total penghuni baik narapidana/tahanan sebanyak 274.317. Artinya lapas rutan di seluruh Indonesia mengalami over-kapasitas sebanyak 180%. Seperti kondisi Lapas Kelas IIb Kutacane yang hanya memiliki daya tampung 100 penghuni, saat ini tercatat menampung 370 narapidana/tahanan.
Penyebab Over-kapasitas
Lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai tempat menjalani hukuman pidana penjara tidak memiliki kuasa atas masuknya terpidana baru. Inflow narapidana berkaitan erat dengan cara kerja sistem peradilan pidana secara umum. Hukuman penjara masih menjadi hukuman utama dalam sistem peradilan pidana kita. Data ICJR menyebutkan bahwa pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan oleh jaksa dan hakim dibandingkan bentuk pidana lainnya.
Pemasyarakatan sebagai muara sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini menanggung beban berat. Untuk itu, sangat diperlukan keharmonisan antarlembaga penegak hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. Polisi, jaksa, hakim, dan pemasyarakatan seharusnya selaras dalam melaksanakan sistem peradilan pidana guna mengurangi beban di lapas yang semakin tinggi akibat tingginya inflow narapidana.
Dampak Over-kapasitas
Dampak dari over-kapasitas ini sangat luas, tidak hanya bagi narapidana tetapi juga bagi petugas lapas dan sistem peradilan secara keseluruhan. Salah satu dampak paling nyata dari over-kapasitas adalah memburuknya kondisi hidup para narapidana. Ruang tahanan yang seharusnya dihuni oleh beberapa orang sering diisi oleh dua hingga tiga kali lipat dari kapasitas idealnya. Hal ini menyebabkan kurangnya akses terhadap fasilitas dasar seperti tempat tidur, sanitasi yang layak, serta pasokan makanan dan air bersih yang cukup. Kondisi ini berpotensi meningkatkan ketegangan antar narapidana dan menimbulkan kekerasan di dalam lapas.
Petugas lapas juga merasakan dampak besar akibat over-kapasitas. Jumlah narapidana yang jauh melebihi kapasitas, pengawasan menjadi semakin sulit. Kasus di Lapas Kutacane menunjukkan bahwa hanya ada 6 petugas keamanan yang menjaga 370 narapidana dan tahanan. Artinya perbandingan antara petugas jaga dengan narapidana adalah 3:185.
Efektivitas program pembinaan di lapas juga terhambat oleh kepadatan penghuni. Kurangnya ruang dan sumber daya membuat penyediaan layanan rehabilitasi yang memadai menjadi tantangan, yang sangat penting untuk mengurangi residivisme (Nkosi, 2020). Program pembinaan baik kepribadian dan kemandirian idealnya diberikan kepada seluruh narapidana. Namun terlalu banyaknya penghuni lapas, program pembinaan tidak dapat diberikan dengan optimal.
Mengatasi Over-kapasitas
Kondisi lapas/rutan yang mengalami over-kapasitas mengakibatkan standar minimum dalam pembinaan, pengamanan, pelayanan, dan keselamatan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, diperlukan perubahan kebijakan dalam sistem peradilan pidana agar permasalahan over-kapasitas di dalam lapas dapat terselesaikan. Penyelesaian harus dilakukan baik di hulu maupun di hilir. Arus masuk harus dikendalikan agar berkurang, sementara arus keluar harus diperlancar.
Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sudah melakukan langkah tepat untuk mengatasi masalah over-kapasitas dengan pemberian amnesti terhadap 19 ribu narapidana. Kebijakan ini perlu dilanjutkan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Hal ini akan mengurangi resistensi Masyarakat akan program amnesti narapidana.
Zevallos, J.C.M. (2016) dalam penelitiannya mengusulkan meningkatkan pembebasan narapidana melalui program pembebasan bersyarat dapat secara signifikan mengurangi kepadatan narapidana. Di Indonesia hal ini dapat dilakukan dengan mempermudah pemberian hak-hak warga binaan seperti remisi, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan. Perlu adanya kebijakan baru dalam pemberian hak bebas bersyarat bagi narapidana dengan tetap memperhatikan penerimaan masyarakat.
Pemberian program bimbingan yang tepat pada saat menjalani bebas bersyarat juga menjadi perhatian untuk memastikan narapidana dapat berintegrasi ke masyarakat. Kiemo (2022) menjelaskan bahwa program rehabilitasi yang komprehensif, termasuk pelatihan kejuruan dan pengobatan narkoba, dapat mengurangi residivisme dan membantu narapidana untuk kembali berintegrasi ke masyarakat.
Untuk mengurangi arus masuk narapidana ke lapas, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan tidak lagi menggunakan pidana penjara sebagai pidana pokok. Perubahan paradigma ini harus didukung dengan mendorong penggunaan alternatif pidana non-penjara. Nudd et all (2024) merekomendasikan tindakan non penahanan seperti pelayanan masyarakat, masa percobaan, dan pemantauan elektronik dapat mengurangi jumlah individu yang dipenjara. Langkah-langkah ini dapat diterapkan di seluruh proses peradilan pidana untuk mencegah kepadatan.
Penerapan keadilan restoratif juga harus diperkuat dalam penyelesaian perkara tertentu, khususnya kasus tanpa korban atau dengan jumlah kerugian yang terukur. Penyelesaian perkara melalui pendekatan ini harus didasarkan pada prinsip sukarela dan bertujuan untuk memulihkan keadaan korban tanpa harus mengirim pelaku ke dalam lapas.
Sebagian besar penghuni lapas adalah kasus narkotika, untuk itu pendekatan kesehatan harus digunakan dalam kasus narkotika, bukan lagi pendekatan kriminal yang selama ini terbukti tidak menyelesaikan permasalahan. Para pengguna narkotika seharusnya mendapatkan rehabilitasi, bukan hukuman penjara yang justru memperburuk kondisi mereka dan membebani lapas.
Langkah-langkah tersebut tentunya perlu kemauan politik kemauan politik dan koordinasi yang kuat di antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk hakim, jaksa, polisi ,pemasyarakatan, dan pembuat kebijakan.
Sebagai penutup, kasus kaburnya narapidana dari Lapas Kelas IIB Kutacane menjadi cerminan nyata dari kompleksitas permasalahan yang dihadapi sistem pemasyarakatan di Indonesia. Over-kapasitas yang berkepanjangan, minimnya jumlah petugas, serta kebijakan pidana yang masih bertumpu pada pemenjaraan menciptakan kondisi yang rentan terhadap berbagai risiko, termasuk pelarian napi.
Diperlukan solusi menyeluruh, mulai dari reformasi kebijakan pidana hingga optimalisasi program pembinaan dan reintegrasi sosial. Tanpa perubahan yang signifikan, kasus serupa bisa terus berulang, menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Kini, saatnya semua pihak berperan aktif untuk membangun sistem pemasyarakatan yang lebih manusiawi, adil, dan efektif.
Panggih Priyo Subagyo ASN Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu