Jakarta (ANTARA) – Jika untuk sekadar swasembada pangan, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila), Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., pernah menyampaikan bahwa secara keseimbangan antara suplai dan permintaan, sebenarnya Indonesia telah mampu mencapainya.
Namun, ia menegaskan bahwa swasembada tidak ada artinya jika masyarakat tetap tidak mampu mengakses pangan.
Sebab swasembada bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah alat untuk mencapai kemandirian, ujar Prof. Bustanul.
Ia kemudian membandingkan kondisi Indonesia dengan Singapura, yang meskipun tidak swasembada, tapi mampu mencapai kemandirian pangan.
Singapura mampu mencapai kemandirian melalui strategi diversifikasi sumber pangan dan efisiensi distribusi.
Indonesia harus belajar dari pendekatan ini. Swasembada pangan tidak hanya berarti produksi yang cukup, tetapi juga memastikan bahwa rakyat bisa mengakses pangan dengan harga terjangkau.
Jika produksi melimpah tetapi distribusi tidak efisien, maka harga pangan tetap tinggi dan rakyat tetap kesulitan mendapatkan kebutuhan pokoknya.
Swasembada pangan juga seharusnya tidak dilihat sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk mencapai kemandirian.
Prof. Bustanul juga sempat berpendapat bahwa kondisi sektor pertanian Indonesia saat ini memerlukan perhatian khusus.
Ia mengungkapkan bahwa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ketika pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 7 persen, sektor pertanian tumbuh sebesar 5 persen.
Namun saat ini, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, pertumbuhan sektor pertanian justru tidak mencapai 1 persen.
Ini jelas mengindikasikan bahwa sektor ini mengalami stagnasi yang berpotensi menghambat pencapaian kemandirian pangan.
Penyebabnya beragam, mulai dari alih fungsi lahan, kurangnya regenerasi petani, hingga perubahan iklim yang semakin tidak menentu.
Di sisi lain, peran penyuluhan pertanian yang semakin berkurang juga berkontribusi terhadap melemahnya sektor ini.
Faktanya, memang jalan menuju kemandirian pangan tidaklah mudah. Diperlukan kolaborasi lintas sektor, kebijakan yang berpihak pada petani, serta penerapan teknologi yang lebih masif agar Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri, tetapi juga mencapai kemandirian.
Regenerasi petani
Ketua Kelompok Substansi Perencanaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Siti Haryati, SP., M.Sc., mengakui beratnya mewujudkan swasembada pangan, apalagi kemandirian pangan. Namun ia menegaskan pemerintah ingin mencapai kemandirian pangan secepat-cepatnya.
Upaya tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama regenerasi dan semakin minimnya SDM.
“Petani banyak yang senior, yang muda-muda susah terjun ke sawah, ditambah dengan masalah sarana dan prasarana yang terbatas, ” kata Siti Haryati.
Regenerasi petani pada dasarnya memang menjadi salah satu kunci utama dalam upaya mencapai kemandirian pangan.
Saat ini, mayoritas petani sudah berusia lanjut, sementara generasi muda cenderung enggan untuk terjun ke sektor pertanian.
Profesi ini masih dianggap kurang menarik karena dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan pihak terkait harus mampu menciptakan insentif yang menarik bagi generasi muda agar mau berpartisipasi dalam pertanian.
Pendidikan dan pelatihan berbasis teknologi pertanian modern harus diperbanyak agar sektor ini bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Selain regenerasi, inovasi teknologi juga harus diperkuat. Pertanian modern tidak bisa lagi hanya mengandalkan cara-cara konvensional.
Teknologi pertanian presisi, penggunaan drone untuk pemetaan lahan, serta otomatisasi dalam irigasi dan pemupukan harus lebih banyak diterapkan.
Pemerintah perlu memberikan akses lebih luas terhadap teknologi ini, terutama bagi petani kecil yang sering kali kesulitan mengakses alat-alat pertanian canggih.
Jika inovasi ini diterapkan dengan baik, produktivitas pertanian bisa meningkat secara signifikan, sekaligus menekan biaya produksi.
Pupuk terjangkau
Ketersediaan pupuk yang cukup dan terjangkau juga merupakan faktor penting dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan.
Dirut PT. Pupuk Indonesia Gusrizal memastikan adanya pabrik pupuk di sentra-sentra pangan tanah air. Sehingga tidak ada lagi alasan pupuk sulit didapat dan harganya mahal. “Secara produksi ada 14 juta ton, yang disubsidi 9,5 juta ton,” ungkap Gusrizal.
Perusahaan pelat merah itu mencatat, produksi pupuk nasional mencapai 14 juta ton, dengan 9,5 juta ton di antaranya disubsidi pemerintah. Dan sebagai BUMN, perusahaan itu berupaya untuk menyediakan pupuk di setiap sentra pertanian untuk memudahkan petani mengaksesnya.
“Pupuk berkontribusi 62 persen produktivitas tetapi harganya hanya 23 persen, dan jika pupuk subsidi bisa mengurangi biaya produksi sampai 9 persen,” katanya.
Faktanya memang, distribusi yang merata masih kerap menjadi tantangan. Pemerintah dan perusahaan pupuk juga harus selalu memastikan bahwa petani tidak kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga yang sesuai.
Jika pupuk berkontribusi 62 persen terhadap produktivitas pertanian, maka distribusi yang buruk hanya akan membuat potensi ini tidak maksimal.
Keterlibatan semua
Upaya mencapai swasembada pangan juga membutuhkan keterlibatan berbagai pihak di luar sektor pertanian.
Polri, misalnya, telah menunjukkan inisiatif dengan memanfaatkan lahan kosong milik institusi untuk ditanami tanaman pangan.
Wakil Satgas Pangan Polri Kombes Moh. Samsul Arifin, S.I.K., MH., mengatakan, Polri telah melakukan berbagai upaya dalam mendukung program pemerintah swasembada pangan, di antaranya memanfaatkan lahan-lahan kosong milik Polri untuk tanaman pangan, perekrutan tenaga-tenaga pertanian, dan pemanfaatan pekarangan anggota untuk tanaman pangan.
Langkah ini perlu diperluas dengan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk perusahaan swasta dan masyarakat luas.
Konsep urban farming, pemanfaatan lahan pekarangan, serta sistem pertanian hidroponik dan aquaponik di perkotaan juga bisa menjadi solusi tambahan dalam meningkatkan produksi pangan domestik.
Selain meningkatkan produksi, distribusi dan tata niaga pangan juga perlu mendapat perhatian serius.
Sistem rantai pasok yang panjang sering kali menyebabkan harga pangan melonjak tajam di tingkat konsumen, meskipun di tingkat petani harga justru rendah.
Reformasi sistem distribusi yang lebih efisien harus menjadi prioritas agar keuntungan bisa dirasakan baik oleh petani maupun konsumen.
Pemerintah perlu memastikan bahwa rantai distribusi pangan tidak dikuasai oleh segelintir pihak yang mencari keuntungan besar dengan mengorbankan petani dan masyarakat luas.
Dalam jangka panjang, pemerintah juga harus mengadopsi strategi ketahanan pangan yang lebih adaptif terhadap perubahan global.
Perubahan iklim yang semakin ekstrem menuntut kebijakan yang lebih fleksibel dalam menghadapi ancaman gagal panen dan kelangkaan sumber daya.
Diversifikasi pangan lokal, seperti pengembangan sorgum, sagu, dan umbi-umbian sebagai alternatif beras, harus lebih serius didorong agar ketergantungan terhadap satu komoditas tidak menjadi titik lemah dalam sistem pangan nasional.
Upaya mewujudkan swasembada pangan bukanlah tugas satu pihak saja. Semua elemen, mulai dari pemerintah, akademisi, pelaku usaha, hingga masyarakat luas, harus berkolaborasi dalam menciptakan ekosistem pertanian yang lebih berkelanjutan.
Kebijakan yang berpihak pada petani, inovasi teknologi yang lebih masif, serta sistem distribusi yang lebih efisien akan menjadi kunci utama dalam mencapai ketahanan pangan yang sesungguhnya.
Dengan langkah-langkah konkret ini, Indonesia tidak hanya bisa mencapai swasembada pangan, tetapi juga kemandirian yang lebih kokoh di masa depan.
Copyright © ANTARA 2025