Profesor ekonomi di Pepperdine Graziadio School of Business, David Smith mengatakan, biasanya tema keserakahan yang sama terus berulang, hanya dalam kerangka atau motif yang berbeda.
“Sebagai ekonom, salah satu hal yang kami pelajari dengan saksama adalah insentif dan bagaimana itu mendorong perilaku manusia. Setiap individu punya motif berbeda, tapi salah satunya adalah mengejar kekayaan,” ujar Smith.
Smith menuturkan, keserakahan murni dan keinginan untuk menambah kekayaan, atau pengalaman kesulitan finansial, bisa menjadi alasan seseorang melakukan penipuan.
Hal serupa disampaikan Hilary Allen, profesor hukum di American University. Dia menilai, era kripto membawa risiko baru. Banyak aset digital, seperti memecoin, hanya bergerak karena hype, bukan karena nilai nyata, dan sering membuat investor kehilangan uang.
Menurut laporan FBI, korban melaporkan kerugian lebih dari USD 5,6 miliar atau Rp 91,05 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.260) akibat penipuan kripto pada 2023, naik 45% dibanding 2022.
“Tidak ada alasan masuk akal bagi aset itu untuk punya nilai, selain keyakinan bahwa seseorang di masa depan akan membelinya lebih mahal daripada harga yang kamu bayar. Dan itu sangat mirip Ponzi,” ujar Allen.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4695425/original/026193800_1703233029-closeup-shot-entrepreneur-working-from-home-his-personal-finances-savings.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)