Mendag: RI Tak Boleh Jadi Tempat Pembuangan Pakaian Bekas Impor

Mendag: RI Tak Boleh Jadi Tempat Pembuangan Pakaian Bekas Impor

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan Indonesia tidak boleh menjadi tempat pembuangan pakaian bekas impor, menyusul tren thrifting yang banyak memanfaatkan barang-barang impor.

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan, kekhawatiran pemerintah bukan pada usaha thrifting secara umum, melainkan pada impor pakaian bekas yang bisa merugikan industri dan UMKM lokal.

Budi menyampaikan, pasar dalam negeri harus diisi oleh produk-produk yang berasal dari industri dalam negeri, termasuk sektor pakaian, agar ekonomi dapat tumbuh dan UMKM tetap memiliki ruang.

“Kalau yang kami nggak perbolehkan itu kan yang barang-barang impor yang bekas, termasuk pakaian, pakaian impor bekas. Sebenarnya kami concern-nya di impor pakaian bekas, karena yang dijual di situ kan kalau yang bekas kebanyakan pakaian,” kata Budi di Kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Budi menyatakan, larangan impor barang bekas ini juga sejalan dengan Undang-Undang Perdagangan yang melarang masuknya barang bekas, tidak hanya pakaian, tetapi juga barang industri lainnya.

Di sisi lain, Budi menyatakan di negara-negara maju, membuang pakaian bekas memiliki biaya tinggi.

“Kami itu tidak ingin [Indonesia] menjadi limbah, tempat pembuangan limbah, sebenarnya. Kalau misalnya di negara-negara maju itu, membuang kaya pakaian bekas, misalnya. Itu kan mahal sekali [biaya pemusnahan]. Masa kita mau jadi tempat pembuangan limbah, salah satunya pakaian,” ujarnya.

Namun, pemerintah memberikan pengecualian hanya untuk impor barang modal tidak baru (BMTB), seperti mesin-mesin industri, dengan kriteria ketat. Pengecualian ini memungkinkan industri dalam negeri tetap berkembang tanpa harus membeli peralatan baru, sambil menjaga regulasi pasar dan kepentingan UMKM.

Menurut Budi, pasar dalam negeri yang sehat memberi peluang bagi usaha lokal berkembang, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan masyarakat tidak bergantung pada barang impor bekas.

Dalam catatan Bisnis, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat estimasi konservatif potensi kerugian negara akibat masuknya impor baju bekas ilegal mencapai Rp600 miliar—Rp 1 triliun per tahun. Estimasi ini merupakan industri berbasis metodologi trade-remedy, bukan klaim asumtif.

Estimasi tersebut mengacu data penindakan Bea Cukai dan simulasi penerimaan fiskal. Perinciannya, data penindakan Bea Cukai menunjukkan sekitar 21.000 bal pakaian bekas ilegal bernilai sekitar Rp120 miliar dalam satu tahun, serta umumnya barang yang tertangkap hanya di kisaran 10–20% dari total arus masuk.

Sekretaris Jenderal API Andrew Purnama menuturkan peredaran baju bekas ilegal terhadap industri tekstil dan garmen berdampak dari hilir ke hulu, mulai dari garmen lokal yang kehilangan pesanan, pabrik kain menurunkan kapasitas, pemintal dan penenun mengurangi jam kerja, hingga turunnya permintaan industri serat dan benang.

“Ketika utilitas pabrik turun, yang terdampak bukan hanya pabrik, tetapi pendapatan rumah tangga para pekerja,” ujar Andrew kepada Bisnis, Kamis (30/10/2025).

API juga menyoroti budaya thrifting di Indonesia yang saat ini bergeser. Dia menuturkan, thrifting di negara lain biasanya berbasis sosial atau charity, tetapi di Indonesia, tren ini justru populer di kalangan konsumen berdaya beli, sehingga produk lokal semakin tersisih.

“Membeli produk lokal berarti menghidupkan pekerja lokal. Kita bisa membeli ponsel belasan juta, tetapi sering merasa keberatan membeli baju lokal di bawah Rp100.000–200.000, pola pikir ini yang perlu diubah,” tutupnya.