Dalam kebijakan tersebut, ditetapkan 16 pos belanja yang akan dilakukan efisiensi anggaran sebagai berikut:
-Alat tulis kantor (ATK) 90 persen
-Kegiatan seremonial 56,9 persen;
-Rapat, seminar, dan sejenisnya 45 persen
-Kajian dan analisis 51,5 persen
-Diklat dan bimtek 29 persen
-Honor output kegiatan dan jasa profesi 40 persen
-Percetakan dan suvenir 75,9 persen
-Sewa gedung, kendaraan, peralatan 73,3 persen
-Lisensi aplikasi 21,6 persen
-Jasa konsultan 45,7 persen
-Bantuan pemerintah 16,7 persen
-Pemeliharaan dan perawatan 10,2 persen
-Perjalanan dinas 53,9 persen
-Peralatan dan mesin 28 persen
-Infrastruktur 34,3 persen
-Belanja lainnya 59,1 persen
Bagaimana Mekanismenya?
Untuk mekanismenya, menteri/pimpinan lembaga dapat melakukan identifikasi rencana efisiensi sesuai persentase yang telah ditetapkan. Efisiensi itu mencakup belanja operasional dan non-operasional.
Menkeu pun meminta menteri/pemimpin lembaga untuk memprioritaskan efisiensi terhadap anggaran di luar yang bersumber dari pinjaman dan hibah, rupiah murni pendamping (kecuali tidak dapat dilaksanakan sampai akhir tahun anggaran 2025), penerimaan negara bukan pajak badan layanan umum (PNBP-BLU) kecuali yang disetor ke kas negara TA 2025, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan menjadi underlying asset dalam rangka penerbitan SBSN.
Menteri/pemimpin lembaga diminta untuk menyampaikan rencana efisiensi kepada DPR dan melaporkan persetujuannya kepada Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 14 Februari 2025
Bila sampai batas waktu yang ditentukan menteri/pimpinan lembaga belum menyampaikan laporan revisi, maka Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) akan mencantumkan dalam catatan halaman IV A DIPA secara mandiri.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5056111/original/099133700_1734506854-Kemendag_RI_4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)