Sekda NTB ke depan diharapkan bukan hanya administrator andal, tetapi pemimpin birokrasi yang mampu menjembatani visi besar pembangunan dengan realitas lapangan.
Mataram (ANTARA) – Seleksi terbuka calon Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berjalan di tengah sorotan publik.
Jabatan ini bukan sekadar posisi administratif tertinggi di daerah, melainkan poros penggerak birokrasi, penentu irama kerja perangkat daerah, sekaligus jembatan antara visi politik kepala daerah dan mesin pemerintahan sehari-hari.
Karena itulah, setiap fase seleksi Sekda selalu lebih dari sekadar urusan kepegawaian. Ia adalah cermin dari arah tata kelola yang ingin dibangun.
Di NTB, dinamika seleksi kali ini terasa berbeda. Selain karena dilakukan secara terbuka dan mengikuti regulasi nasional, muncul pula pertanyaan yang berulang di ruang publik: Siapkah aparatur sipil negara (ASN) lokal memimpin birokrasi sendiri? atau justru figur dari luar daerah yang lebih dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman.
Pertanyaan ini bukan soal sentimen kedaerahan, melainkan tentang kapasitas, adaptasi, dan keberanian daerah mempercayai sumber daya manusianya.
Seleksi yang diikuti sepuluh ASN, dengan latar belakang beragam dari internal pemerintah provinsi hingga kementerian dan lembaga nasional, memperlihatkan bahwa jabatan Sekda NTB cukup diminati.
Prosesnya juga telah memenuhi syarat minimal pendaftar, sehingga dapat dilanjutkan ke tahap asesmen kompetensi di Badan Kepegawaian Negara.
Di atas kertas, mekanisme berjalan sesuai aturan. Namun, di balik prosedur itu, ada wacana yang lebih mendalam tentang makna keterbukaan dan keadilan dalam birokrasi daerah.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
