Jakarta, CNN Indonesia —
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait mengusulkan untuk memasukkan rakyat yang belum memiliki rumah ke dalam kategori masyarakat miskin.
“Saya pikir sangat pantas kita masukkan juga kalau orang belum punya rumah, rumah yang pertama, masuk kategori miskin,” ujar pria yang akrab disapa Ara dalam acara Rakornas Keuangan Daerah Kemendagri, Jakarta, Rabu (18/12).
Ia kemudian membandingkan kriteria masyarakat miskin yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, di mana konsumsi batas kalori harian tertentu saja sudah dianggap keluar dari kategori masyarakat miskin.
“Bagaimana dia dianggap sudah tidak miskin. Sementara dia belum punya rumah?” ucapnya.
Dalam kesempatan itu juga, Ara mengusulkan tanah hasil sitaan koruptor dijual murah kepada masyarakat yang kurang mampu.
Ia mengaku telah menyampaikan usulan tersebut ke Presiden Prabowo Subianto untuk dimasukkan dalam program strategis nasional bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di seluruh Tanah Air.
“Bagaimana tanah-tanah dari kejaksaan, satu kasus saja ada 1.000 hektare dari eks BLBI. Bagaimana tanah-tanah koruptor itu bisa juga kita berikan atau kita jual dengan harga murah kepada rakyat,” tuturnya.
Kementerian PKP di bawah komando Ara memang tengah menggeber pelaksanaan pembangunan program 3 juta rumah per tahun yang kini menjadi program prioritas Prabowo.
Ia bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo bahkan sepakat untuk menghapus retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) khusus untuk MBR guna mempercepat realisasi program tersebut.
Lantas, tepatkah usulan Ara memasukkan rakyat yang belum punya rumah ke kategori masyarakat miskin?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira khawatir usulan ini akan membuat penyaluran program perumahan rakyat maupun subsidi rumah untuk penerima MBR tidak tepat sasaran.
Ia mempertanyakan apakah nantinya kelompok orang yang tidak punya rumah, tetapi tercatat punya harta, akan dikategorikan sebagai rakyat miskin oleh pemerintah.
Contoh saja, seperti anak-anak orang kaya yang masih menumpang di rumah orang tua, atau orang yang tak punya rumah, tapi tinggal di apartemen dengan harta cukup besar.
Oleh karena itu, Bhima menilai tetap perlu ada kriteria pengeluaran individu yang jelas sebagai batasan garis kemiskinan bagi mereka yang berhak mendapatkan program perumahan rakyat.
“(Wacana ini) kurang tepat ya. Maksudnya kurang tepatnya adalah perlu lebih spesifik lagi batasan kriterianya,” ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/12).
Bhima berpendapat seharusnya pemerintah lebih fokus kepada masyarakat kelas menengah yang rentan dan miskin untuk merenovasi rumah yang mereka miliki menjadi lebih layak tinggal.
“Kalau punya rumah, punya tanah, tapi kondisi rumahnya tidak layak, itu harusnya tetap diprioritaskan untuk program renovasi rumah,” tutur dia.
Ia pun menilai jika pemerintah benar-benar mengakomodir usulan Ara ini, hal ini malah berpotensi dimanfaatkan oleh oknum yang sebenarnya mampu membeli rumah untuk menjadi pendapatan pasif.
“Risikonya kalau cuma kriterianya yang belum punya rumah masuk program itu, ya nanti banyak orang yang sebenarnya mampu membeli rumah tanpa bantuan program rumah subsidi, rumah rakyat pemerintah, dia akan membeli rumah program pemerintah dan menyewakan kepada orang lain sehingga menjadi pendapatan pasif,” tuturnya.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Risiko Menyesatkan
Senada, analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P Sasmita menilai usulan Ara mengkategorikan orang tak punya rumah sebagai masyarakat miskin merupakan wacana yang misleading alias menyesatkan.
Menurutnya, ada alasan orang miskin dikategorikan berdasarkan pendapatan masing-masing individu. Namun hal ini tidak terhitung berdasarkan kepemilikan properti orang tersebut.
“Ini agak lucu sebenarnya. Karena kategori orang miskin itu biasanya based on income, berdasarkan pendapatan. Makanya ada garis kemiskinan. Itu tidak terhitung properti atau bukan, ini kan konsep yang saya pikir akan misleading. Akan menyesatkan di satu sisi secara ekonomi,” tutur Ronny.
Selain itu, usulan ini secara otomatis akan membuat banyak orang Indonesia masuk ke dalam kategori miskin. Secara fakta, masih banyak sekali orang yang belum memiliki rumah, namun bukan berarti mereka orang yang tidak mampu.
“Mungkin tidak mampu untuk beli rumah, tapi mampu untuk hidup layak. Ini juga kan harus kita lihat juga disitu. Belum beli rumah tapi mampu untuk hidup layak, karena pendapatannya ada di atas UMR dan lain-lain,” jelasnya.
Ronny menilai jika wacana ini benar-benar diimplementasikan pemerintah, hal ini bisa menjadi legitimasi bagi Kementerian PKP serta pengusaha-pengusaha di belakangnya untuk berjualan. Maka itu, ia berpendapat hal ini menjadi tantangan untuk program 3 juta rumah.
“Itu kan rumah tidak gratis walaupun ada subsidi-nya. Sementara kenadap backlog perumahan itu terjadi, salah satu penyebabnya adalah tidak mampu untuk membeli rumah, selain masalah lainnya, misalkan tidak ada fasilitas yang lebih murah, bunga yang masih tinggi, dan lain-lain,” katanya.
[Gambas:Photo CNN]
Oleh sebab itu, ia menilai wacana ini menyesatkan dan tidak perlu ditanggapi. Ronny berharap kategorisasi masyarakat miskin tidak dilakukan secara melenceng, yang di mana akhirnya berpotensi untuk mempengaruhi kebijakan.
Hal ini juga dikhawatirkan dapat membebani fiskal negara di mana seseorang yang terdata tak punya rumah bisa mendadak dikategorikan miskin. Padahal, kondisi fiskal Indonesia juga sedang bermasalah mengingat tingginya beban utang dan risiko pelebaran defisit.
“As we know, fiskal negara ini lagi bermasalah. Itu menurut saya imbas yang harus dipikirkan. Jadi ini misleading dan itu tidak perlu kita ikuti. Jangan sampai kira curigai bahwa orang-orang ini ngebet pingin bangun rumah banyak tapi dibiayai oleh negara. Ini larinya akan menyeret fiskal negara yang cukup besar,” jelas Ronny.