Jakarta –
Komitmen pemerintah baru dalam memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) makin terlihat nyata. Setelah mengesahkan regulasi pemutihan tagihan kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) UMKM, pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi 2025 melalui konferensi pers pada 16 Desember 2024 silam.
Dalam paket kebijakan tersebut, pemerintah menyiapkan dua insentif untuk mendorong performa UMKM. Pertama, perpanjangan masa berlaku tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% hingga akhir 2025. Kedua, pembebasan PPh untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun. Kedua insentif ini dinilai tetap vital bagi UMKM yang masih merasakan ‘efek luka memar’ (scarring effect) dari pagebluk COVID-19.
Pemerintah juga merancang stimulus untuk memproteksi daya beli rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah. Tren penurunan kesejahteraan masyarakat melatarbelakangi introduksi program insentif ini. Dalam lima tahun terakhir (2019–2024), jumlah penduduk miskin dan rentan miskin naik 15,12 juta orang, sementara 9,48 juta penduduk kelas menengah turun kasta.
Proporsi pengeluaran tertinggi dari tiga kelompok masyarakat tersebut adalah untuk makanan (42%–64%), perumahan (22%–29%), dan kendaraan (3%–6%). Dengan begitu, alokasi subsidi disalurkan pada tiga jenis pengeluaran ini. Misalnya, untuk mendukung rumah tangga berpenghasilan rendah, pemerintah menyiapkan bantuan pangan 10 kilogram per bulan dan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang kebutuhan pokok seperti minyak goreng, tepung, dan gula rafinasi. Produk properti dan otomotif tertentu juga diberikan insentif PPN untuk menyokong warga kelas menengah.
Paket kebijakan stimulus ini bisa dibilang tepat sasaran lantaran tertuju pada segmen penting perekonomian. UMKM menyumbang 61% output nasional dan menyerap 97% tenaga kerja, sementara belanja konsumsi kaum medioker dan akar rumput mencakup 81,49% total konsumsi rumah tangga. Artinya, relaksasi perpajakan dan bantuan sosial yang dirancang berpotensi mendongkrak penawaran dan permintaan agregat. Walhasil, titik ekuilibrium baru yang lebih baik di pasar domestik dapat tercipta.
Pemanfaatan Insentif
Sampai di sini, bauran kebijakan yang baru saja dirilis berperan sebagai kompensasi atas kenaikan tarif PPN 12%. Perusahaan dan konsumen dapat lebih optimis menghadapi tantangan ekonomi ke depan. Optimisme ini menjadi modal awal bagi mereka untuk mengakselerasi pemulihan pasca melewati masa-masa sulit. Oleh karena itu, UMKM harus menyambut secara proaktif support system yang telah dibangun.
Nyatanya, pemanfaatan insentif, khususnya tarif PPh final 0,5%, masih kurang optimal. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan, dari target penyerapan insentif sebesar Rp 1,08 triliun, baru 62,03% atau sekitar Rp 670 miliar yang terealisasi. Artinya, banyak UMKM yang belum mengikuti program insentif ini. Minimnya kesadaran wajib pajak akan peraturan yang berlaku dan rumitnya birokrasi menjadi penyebab utama permasalahan tersebut. Hal ini patut menjadi perhatian karena literatur menilai insentif pajak sebagai dukungan finansial terbaik pemerintah untuk menjaga aktivitas bisnis UMKM (Deyganto, 2022).
Di titik ini, fungsi stabilisasi pemerintah sejatinya telah berperan meski perlu sejumlah pembenahan agar pemanfaatan insentif dapat lebih optimal. Langkah berikutnya yang lebih substantif adalah bagaimana agar UMKM tidak lagi rentan dan lebih tahan terhadap guncangan.
ESG sebagai Inovasi
Permasalahan yang harus diselesaikan dengan demikian tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau disingkat ESG. Sayangnya, aspek keberlanjutan ini sering luput dari sasaran kebijakan terkait pengembangan UMKM. Artinya, dalam membangun ketahanan bisnis, pelaku UMKM tidak bisa sekadar mengandalkan bantuan pemerintah. Para manajer perlu mentransformasikan manfaat finansial yang diperoleh dari kebijakan insentif ke dalam strategi inovatif mereka.
Bukti empiris yang dilaporkan Prianto Budi Saptono dan kawan-kawan dalam makalah bertajuk Flourishing MSMEs: The Role of Innovation, Creative Compliance, and Tax Incentives memvalidasi argumen di atas. Dengan menggunakan 360 unit UMKM sebagai sampel, studi ini mengungkapkan bahwa pemanfaatan insentif pajak tak serta merta membuat bisnis bertahan dari pandemi. Berkenaan dengan hal ini, kegiatan inovasi berperan sentral dalam meningkatkan efek positif insentif pajak terhadap ketahanan bisnis UMKM.
Inovasi yang dimaksud dapat dilakukan salah satunya melalui penerapan prinsip ESG. Bagi kebanyakan UMKM, menjalankan bisnis dengan berlandaskan aspek keberlanjutan ini merupakan hal baru. Ini karena mereka masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan konsep ESG ke dalam proses produksi. Tantangan paling mendasar adalah kendala finansial. Dari sini, rentetan masalah turunan muncul.
Mengadopsi prinsip ESG melibatkan investasi yang tidak murah. Karena keterbatasan dana, pemilik UMKM cenderung menghindari kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan profitabilitas perusahaan. Hal ini menghalangi mereka untuk bertransformasi menuju bisnis yang lebih berkelanjutan.
Dengan adanya resistensi terhadap perubahan, UMKM merasa tidak perlu merekrut tenaga kerja yang lebih berkualitas. Hal ini mengarah pada masalah internal seperti rendahnya keahlian dalam pengelolaan bisnis. Akibatnya, ketersediaan informasi yang diperlukan untuk mendukung penerapan prinsip ESG secara efektif, seperti data yang terverifikasi terkait profil perusahaan dan rantai pasok, menjadi tidak memadai.
Padahal, informasi tersebut juga dibutuhkan pemerintah untuk menjangkau dan membantu pelaku UMKM dalam mengimplementasikan prinsip ESG. Dengan begitu, regulasi terkait penerapan ESG yang tidak memberatkan UMKM menjadi sulit untuk diformulasikan. Belum adanya regulasi semacam itu sampai sekarang dengan sendirinya menjadi justifikasi yang valid.
Mempromosikan Penerapan ESG
Berangkat dari permasalahan di atas, beberapa upaya perlu dilakukan guna mempromosikan penerapan ESG pada UMKM. Pertama, kebijakan insentif untuk UMKM yang bergulir pada 2025, seperti penghapusan NPL dan perpanjangan insentif pajak, perlu dioptimalkan. Dukungan finansial ini dapat mengurangi beban UMKM dalam berinvestasi pada praktik bisnis berkelanjutan. Oleh karena itu, birokrasi dan persyaratan administratif yang rumit harus dipangkas. Sosialisasi melalui seminar atau kampanye juga mesti digalakkan agar lebih banyak UMKM yang mengetahui dan memanfaatkan program ini.
Kedua, penerapan ESG harus segera dimulai dengan menyesuaikan kapasitas UMKM. Misalnya, dari aspek lingkungan, UMKM dapat mengurangi limbah dengan menggunakan bahan baku yang tidak menghasilkan banyak sampah, mendaur ulang bahan baku yang digunakan, atau menggunakan teknologi hemat energi. Dari sisi sosial, UMKM dapat melibatkan komunitas sekitar dengan mempekerjakan tenaga kerja lokal dan bekerja sama dengan pemasok dari daerah tersebut. Pada aspek tata kelola, UMKM dapat memperbaiki pengelolaan keuangan dengan mencatat transaksi secara teratur, menetapkan prosedur pembukuan yang rapi, dan mengawasi pengeluaran untuk memastikan transparansi.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan pendataan langsung ke UMKM untuk menyusun kebijakan yang sesuai. Dengan mendata secara mendalam, pemerintah dapat merumuskan regulasi yang tidak memberatkan UMKM. Selain itu, pemerintah perlu mulai mempertimbangkan aturan kewajiban penerapan dan pelaporan ESG secara bertahap, misalnya, berdasarkan tingkatan omzet.
Keempat, sivitas akademika memiliki peran penting dalam memberikan pelatihan dan pendampingan terkait penerapan ESG di tingkat UMKM melalui program pengabdian masyarakat. Mereka dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya ESG, serta cara praktis mengintegrasikannya ke dalam proses bisnis.
Poin-poin di atas semestinya dipandang sebagai bagian integral dari upaya peningkatan ketahanan UMKM dalam negeri. Dengan begitu, UMKM tidak sekadar menjadi penyangga ekonomi, tetapi juga bagian dari industri modern dan berkelanjutan.
Gustofan Mahmud dosen Institut Bisnis dan Komunikasi Swadaya
(mmu/mmu)