JAKARTA – Petualangan kuartet Bene Dion, Boris Bokir, Oki Rengga, dan Indra Jegel memasuki babak baru di film kedua mereka,Agak Laen: Menyala Pantiku! Dalam film ini sedikit dikisahkan soal kehidupan para usia lanjut (lansia) di panti jompo.
Film pertamanya,Agak Laen, berhasil menarik 9.126.607 penonton yang menempatkannya di urutan ketigafilm Indonesia terlaris sepanjang masa, di bawahJumbodanKKN di Desa Penari.
Kesuksesan tersebut berlanjut di film kedua,Agak Laen: Menyala Pantiku! yang telah menarik delapan juta lebih penonton dalam waktu kurang dari satu bulan sejak tayang perdana pada 27 November 2025.
Film berdurasi 119 menit tersebut menceritakan tentang empat polisi yang kariernya terancam seusai gagal mengungkap kasus pembunuhan anak wali kota. Mereka kemudian diberi kesempatan terakhir yaitu harus melakukan operasi penyamaran dan menyusup ke sebuah panti jompo untuk mencari sang pembunuh.
Bene Dion, Indra Jegel, Oki Rengga dan Boris Bokir berfoto bersama mempromosikan film Agak Laen yang kini sedang tayang di bioskop seluruh Indonesia. (ANTARA/HO-POPLICIST Publicist/am)
Yang menarik adalah bagaimana sang penulis cerita, Muhadkly Acho mengangkat kehidupan para lansia di panti jompo.Bagi kebanyakan orang di Indonesia, menitipkan orang tua di panti jompo bisa dipandang negatif.
Padahal, menurut sosiolog sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (Undip) Prof Ari Pradanawati, panti wreda atau panti jompo tidak serta merta berarti sebagai tempat pembuangan orang tua.
Stigma Negatif
Dalam salah satu adegan di filmAgak Laen: Menyala Pantiku!Boris dan Oki, yang menyamar sebagai pasangan lansia, mendaftarkan diriuntuk tinggal di Wisma Kasih, karena tak mau merepotkan para tetangga setelah anak mereka meninggal dunia.
Dalam film dikisahkan kehidupan para lansia di panti jompo. Di sana, para lansia bisa berinteraksi satu sama lain serta mendapat perawatan yang layak.
Mendengar kata panti jompo masih menjadi hal yang tabu di Indonesia. Panti jompo memiliki makna negatif, lantaran dianggap sebagai tempat ‘menelantarkan’ orang tua.
Merawat orang tua, apalagi yang sudah berusia lanjut, memang selalu menjadi topik hangat yang memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Salah satu opsi yang dipertimbangkan oleh keluarga adalah menempatkan lansia di panti wreda.
Seperti yang digambarkan di filmAgak Laen: Menyala Pantiku!rumah jompo menawarkan berbagai layanan yang dirancang untuk mendukung kesejahteraan lansia.
Tapi di baik itu, tetap meyimpan berbagai kontroversi apaka menitipkan orang tua di panti wreda adala pilihan terbaik, apalagi jika lansia tersebut masih memilki anak.
Bukan Budaya Indonesia
Pada 2024, Tri Rismaharini, yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Sosial, mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait konsep panti jompo. Menurut Risma, panti jompo tidak cocok untuk budaya Indonesia.
Politisi PDI Perjuangan itu khawatir panti jompo menjadi pembenar anak menolak merawat lansia di keluarga. Ia pun mendorong keluarga untuk merawat lansia, alih-alih menitipkannya di panti wreda.
“Itu budaya dari luar negeri. Sebetulnya menurut saya ya, gak sesuai. Tidak sesuai dengan budaya, begitu kan,” katanya, saat peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) di Aceh Utara, 29 Mei 2024.
Ternyata menurut jajak pendapat yang dilakukan lembaga risetJakpat, padangan Risma yang kontra terhadap keberadaan panti wreda sejalan dengan Generasi Z.
Tri Rismaharini, saat itu menjabat Menteri Sosial, berbincang dengan warga saat mengunjungi Rumah Sejahtera Terpadu (RST) warga lansia di Aceh Utara, Aceh, Rabu, 29 Mei 2024. (ANTARA/Rahmad)
Dari survei terhadap 1.499 responden 16-27 tahun, sebanyak 48,63 responden tidak setuju dengan pandangan mengirim orang tua ke panti wreda. Bahkan terdapat 35,76 persen lainya yang menjawab “sangat tidak setuju”.
Survei ini dilakukan pada 7-8 Juni 2024. Kebanyakan responden dari kelompok 20-25 tahun (59, 79 persen), diikuti kelompok 26-27 tahun (20,37 persen) dan kelompok 16-19 tahun (19,77 persen).
Sekitar sepertiga responden yang memilih tidak setuju dengan mengirim oang tua ke panti wreda, mengaku khawatir dengan stigma sosial. Mereka merasa masih ada pandangan negatif di masyarakat yang menganggap anak tidak berbakti jika menempatkan orang tua ke panti wreda.
Perlu Perubahan Istilah
Profesor Ari Pradanawati menuturkan, pendapat yang kontra dengan menitipkan orang tua di panti jompo cenderung lebih mengacu pada budaya di Indonesia.
Di Indonesia, anggapan bahwa orang tua harus dirawat anak masih sangat kental. Menurut Prof Ari, pandangan masyarakat terhadap kata panti jompo masih cenderung negatif. Padahal, panti jompo tidak serta merta sebagai ‘tempat pembuangan’ bagi para orang tua.
“Dalam pikiran kita, jika mendengar kata panti jompo atau panti wreda seolah menganggap orang tua dibuang. Padahal sebenarnya tidak begitu juga, karena memang ketika mendengar kata jompo atau wreda terkadang membuat pikiran malah stres,” tutur Prof Ari, dikutip laman Undip.
Penghuni Panti Sosial Tresna Wreda Senjarawi menunggu antrean pada pemeriksaan gratis relawan KawanJuang GP, Kamis (19/10/2023). (ANTARA/HO-Pri)
Ia pun mengungkapkan perlu ada penggantian istilah di kalangan masyarakat dalam menyebut panti jompo sehingga bisa memiliki makna yang lebih positif, misalnya rumah masa tua.
“Artinya bagaimana kita membuat istilah yang membuat nyaman, misalnya sebuah rumah masa tua di mana ada fasilitas yang komplit,” ungkap Prof Ari.
“Sehingga konotasi kita terhadap panti jompo atau panti wreda untuk lansia diubah menjadi suatu istilah-istilah yang mengena di hati dan anggapan ke panti jompo itu tidak berarti dibuang dan orang tua mesti diberi pemahaman,” sambung dia lagi.
