Mau Bom Iran, AS Kirim Sistem Rudal THAAD Kedua ke Israel
TRIBUNNEWS.COM – Amerika Serikat dilaporkan telah mentransfer sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) keduanya ke Israel, pada saat ketegangan dengan Iran meningkat.
Saluran televisi Arab Saudi Al-Hadath melaporkan kalau transfer sistem pertahanan udara THAAD diyakini telah terjadi Sabtu (5/4/2025) kemarin.
Situs web pelacakan penerbangan menunjukkan pesawat angkut terbesar Angkatan Udara AS C-5M Super Galaxy, yang saat ini beroperasi, telah mendarat di Pangkalan Udara Nevatim di Israel selatan dan tetap di sana selama sekitar delapan jam sebelum lepas landas lagi.
Diketahui, Sistem pertahanan rudal THAAD pertama dikirim ke Israel tahun lalu dan diperkirakan 100 personel militer AS telah ditempatkan di negara itu untuk mengoperasikan sistem tersebut, yang dianggap sebagai pelengkap sistem pertahanan udara Patriot.
THAAD adalah sistem antirudal yang canggih dan berteknologi tinggi.
Sistem THAAD yang dikerahkan di Israel telah digunakan untuk mencegat serangan rudal yang diluncurkan oleh kelompok bersenjata Houthi dari Yaman, termasuk dalam beberapa insiden baru-baru ini.
TRANSFER KE ISRAEL – Sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) saat dipindahkan menggunakan pesawat. THAAD adalah sistem pertahanan rudal berteknologi tinggi yang dirancang untuk mencegat dan menghancurkan rudal balistik jarak pendek hingga menengah selama fase terminal penerbangannya, yaitu saat rudal mendekati sasarannya. AS dilaporkan kembali mengirim sistem pertahanan ini ke Israel di tengah meningkatnya ketegangan dengan Iran.
Trump Ancam Bom Iran
Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat serta Israel telah meningkat, dengan Presiden AS Donald Trump minggu lalu mengancam Iran dengan “pemboman yang belum pernah terlihat sebelumnya” dan sanksi tambahan jika Teheran gagal mencapai kesepakatan dengan Washington mengenai program nuklirnya.
Sistem THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) adalah sistem pertahanan rudal berteknologi tinggi yang dirancang untuk mencegat dan menghancurkan rudal balistik jarak pendek hingga menengah selama fase terminal penerbangannya, yaitu saat rudal mendekati sasarannya.
Sistem ini beroperasi menggunakan konsep “serang untuk membunuh”, yang berarti menghancurkan target dengan dampak langsung menggunakan energi kinetik, tanpa memerlukan hulu ledak peledak.
TRANSFER KE ISRAEL – Sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) saat dipindahkan menggunakan pesawat. THAAD adalah sistem pertahanan rudal berteknologi tinggi yang dirancang untuk mencegat dan menghancurkan rudal balistik jarak pendek hingga menengah selama fase terminal penerbangannya, yaitu saat rudal mendekati sasarannya. AS dilaporkan kembali mengirim sistem pertahanan ini ke Israel di tengah meningkatnya ketegangan dengan Iran. (DSA/Tangkap Layar)
Profil THAAD
THAAD mampu mencegat target pada ketinggian antara 40 dan 150 kilometer di luar atmosfer, memberikan keuntungan strategis dalam mencegah ancaman rudal dibandingkan dengan sistem pertahanan lain yang beroperasi pada ketinggian lebih rendah.
Setiap unit THAAD terdiri dari beberapa elemen utama termasuk peluncur bergerak, radar deteksi AN/TPY-2 berkekuatan tinggi, unit pengendalian tembakan, dan kendaraan pendukung logistik.
Radar AN/TPY-2 yang digunakan dalam sistem ini mampu mendeteksi dan melacak rudal sejauh lebih dari 1.000 kilometer, menjadikannya salah satu radar pertahanan balistik tercanggih di dunia.
Sistem ini dirancang untuk beroperasi secara mandiri atau terintegrasi dengan sistem pertahanan lain seperti Aegis BMD, sistem Patriot PAC-3, dan jaringan pertahanan rudal terpadu Amerika Serikat dan sekutunya.
THAAD dikembangkan oleh perusahaan pertahanan AS, Lockheed Martin, dan saat ini beroperasi di Angkatan Darat AS.
Keuntungan utama THAAD adalah kemampuannya untuk memberikan perlindungan luas bagi wilayah strategis dari serangan rudal balistik, sehingga meningkatkan kemampuan pertahanan udara suatu negara baik di tingkat strategis maupun operasional.
RUDAL JARAK JAUH – Sistem pertahanan udara jarak jauh Iran, Zolfaghar. Iran dilaporkan menempatkan sistem peluncur rudal di tiga pulau yang disengketakan Uni Emirat Arab di Teluk Hormuz, kawasan Teluk. (DSA/Tangkap Layar)
Iran Siap Membalas
Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengebom Iran jika negara tersebut tidak menyetujui kesepakatan nuklir.
Ancaman ini disampaikan dalam wawancara dengan NBC News pada Minggu, 30 Maret 2025.
Menanggapi ancaman tersebut, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, memberikan pernyataan tegas pada Senin, 31 Maret 2025.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Khamenei memperingatkan bahwa Iran akan memberikan balasan keras jika AS melakukan serangan.
“Jika mereka melakukan kejahatan, mereka pasti akan menerima balasan yang keras,” tegas Khamenei.
Ia juga menambahkan bahwa seluruh warga Iran akan turun tangan jika terjadi serangan.
Penolakan Negosiasi Langsung
Iran juga menolak untuk mengadakan pembicaraan langsung dengan AS.
Hal ini disampaikan oleh Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, yang mengonfirmasi bahwa tanggapan terhadap surat Trump telah disampaikan melalui kontak di Oman. “Negosiasi langsung telah ditolak, tetapi pembicaraan tidak langsung masih dapat dilanjutkan,” jelas Pezeshkian.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menegaskan bahwa perundingan langsung hanyalah taktik AS untuk mendiskusikan kesepakatan nuklir.
“Dalam situasi di mana ada tekanan maksimum, tidak seorang pun yang waras akan melakukan perundingan langsung,” katanya.
Sebelumnya, pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan dengan kekuatan dunia, termasuk AS, untuk mengekang program nuklirnya.
Namun, pada tahun 2018, Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut dan menjatuhkan sanksi terhadap Iran.
Menurut pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa, Iran telah mempercepat produksi uraniumnya mendekati tingkat senjata.
Dengan situasi yang semakin tegang, baik AS maupun Iran tampaknya tetap pada posisi masing-masing, dengan ancaman dan penolakan negosiasi yang semakin memperburuk hubungan antara kedua negara.
(oln/dsa/*)