Jakarta, CNBC Indonesia – Kutub utara dan kutub selatan Matahari tahun ini mulai bergeser dan berputar hingga terbalik. Pergantian posisi kutub Matahari ini disebut bisa juga terjadi di Bumi.
Pergeseran kutub ini adalah bagian dari fenomena Matahari yang diberi nama siklus Schwabe yang berlangsung setiap 11 tahun. Nama tersebut berasal dari Heinrich Schwabe, astronom Jerman yang pertama kali mengamati rotasi 27 hari Matahari. Dalam observasi selama 1826 hingga 1843, ia juga mengamati bahwa dalam 11 tahun, Matahari berubah dari “masa tenang” tanpa bintik Matahari ke fase maksimum yang ditandai oleh lebih dari 20 kelompok bintik hitam terlihat.
Bintik hitam Matahari ini dihasilkan oleh perubahan medan magnet Matahari, yang terjadi karena ekuator Matahari berotasi lebih cepat dari kedua kutubnya.
“Medan magnet Matahari muncul lewat zona konveksi kemudian meluap melalui fotosfer ke kromosfer dan korona. Luapan ini menyebabkan aktivitas surya, termasuk fenomena bintik hitam, suar, dan coronal mass ejection,” kata NASA seperti dikutip IFL Science.
Pada puncak siklus Schwabe, medan magnet Matahari berputar berganti posisi. Siklus ini bisa berlangsung antara 8 hingga 14 tahun.
“Saat bintik hitam muncul dari dalam Matahari di kedua kutub, aliran plasma mengubah medan magnet, memperlebar, melemahkan, dan membuat bias dari kedua kutub makin kuat. Bintik hitam yang menjadi lemah, dibawa oleh aliran plasma menuju kedua kutub. Medan magnet yang muncul selalu berkebalikan dari kutub magnet saat itu. Saat kutub magnet yang berlawanan bersentuhan, keduanya hancur,” demikan penjelasan dari National Solar Observatory.
Kutub magnet Bumi juga bisa bertukar, tetapi dalam kurun waktu yang jauh lebih panjang yaitu ratusan hingga ribuan tahun. Tidak seperti di Matahari, fenomena di Bumi juga acak dengan interval antara 10 ribu tahun hingga 50 juta tahun. Secara rata-rata, perubahan kutub magnet terjadi tiap 200.000 tahun hingga 300.000 tahun.
IFLScience menyatakan sepanjang tahun ini aktivitas Matahari meningkat, menghasilkan suar surya dan menyebabkan sinyal radio kacau balau di Bumi. Puncaknya diprediksi jatuh antara akhir tahun ini dan 2026.
Namun, sekelompok peneliti percaya bahwa mereka bisa memprediksi pertukaran kutub Matahari dengan akurat lewat pengamatan peristiwa penghancur (terminator events). Mereka mengamati “donat” magnet yang terbentuk di lintang 55 derajat di kedua sisi kutub Matahari. Formasi ini bergerak menuju ekuator Matahari dan bertemu kemudian saling menghancurkan.
Peristiwa penghancur ini cenderung terjadi hingga 2 tahun setelah minimum. Dengan fokus ke peristiwa tersebut, tim peneliti percaya mereka bisa membuat prediksi yang lebih pas soal siklus surya.
Dengan metode ini, mereka menduga pertukaran magnet Matahari terakhir terjadi di pertengahan 2024 ini atau beberapa bulan setelah solar maximum.
(dem/dem)