Jakarta, CNBC Indonesia – Matahari berada pada titik solar maksimum, yakni periode yang ditandai dengan letusan Matahari dahsyat dan ledakan partikel bermuatan yang mengarah ke Bumi. Gejolak ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap satelit-satelit yang berada di orbit rendah Bumi (LEO).
Pasalnya, satelit-satelit tersebut berpindah posisi dengan cara yang mengkhawatirkan, dikutip dari Gizmodo, Jumat (13/12/2024).
Tahun ini, Bumi mengalami dua badai geomagnetik yang disebabkan oleh serangkaian letusan Matahari. Badai Matahari memengaruhi orbit ribuan satelit, mengakibatkan migrasi massal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini disampaikan William Parker, seorang peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dalam presentasinya pada pertemuan tahunan American Geophysical Union, dilaporkan SpaceNews.
Badai geomagnetik adalah gangguan pada magnetosfer Bumi, yakni gelembung besar medan magnet di sekitar planet kita yang disebabkan oleh angin Matahari.
Pada Mei lalu, badai geomagnetik G5, atau badai ekstrem, menghantam Bumi sebagai akibat dari pelepasan plasma dalam jumlah besar dari korona Matahari yang juga dikenal sebagai lontaran massa koronal.
Badai G5 yang merupakan badai pertama yang menghantam Bumi dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, menyebabkan beberapa dampak buruk pada jaringan listrik Bumi dan beberapa aurora spektakuler yang terlihat di sebagian besar belahan dunia.
Badai tersebut meningkatkan kepadatan atmosfer di orbit rendah Bumi yang pada akhirnya menyebabkan hambatan atmosfer yang memengaruhi satelit, menurut Parker.
Migrasi satelit yang berubah paling terlihat di konstelasi Starlink SpaceX, yang mencakup lebih dari 6.700 satelit di orbit rendah Bumi.
“SpaceX melihat kesalahan posisi sepanjang 20 kilometer [12,4 mil] dalam perhitungan satu hari mereka,” kata Parker dikutip dari SpaceNews.
Parker menyoroti risiko satelit bertabrakan di orbit rendah Bumi akibat posisi yang berpindah tersebut. Sebab, bahaya tabrakan biasanya dihindari dengan melacak secara tepat posisi pesawat ruang angkasa yang mengorbit. Pergeseran orbit satelit yang kecil menempatkannya pada risiko tabrakan yang lebih besar.
Setelah puncak badai, beberapa satelit melakukan manuver otomatis untuk kembali ke ketinggian sebelum badai, mengoreksi pergeseran yang disebabkan oleh peristiwa tersebut. Sehari setelah badai, hampir 5.000 satelit, sebagian besar milik Starlink SpaceX, melakukan manuver peningkatan orbit, menurut Parker.
“Ini menjadikannya migrasi massal terbesar dalam sejarah,” ujar Parker.
Manuver tersebut mempersulit prediksi letak satelit satu sama lain, sehingga meningkatkan risiko tabrakan.
Para ilmuwan masih mencoba memahami perilaku Matahari agar dapat memprediksi dengan lebih baik terjadinya badai geomagnetik ini, sehingga dapat membantu operator satelit mempersiapkan perangkat kerasnya di luar angkasa.
(fab/fab)