Liputan6.com, Jakarta Maraknya kecelakaan akibat truk berlebih muatan alias over dimension overload atau truk ODOL terjadi karena beberapa faktor. Mulai dari ketidaksiapan pemerintah hingga ramainya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan, semisal aksi pungutan liar alias pungli.
“Karena memang ada banyak masalah (terkait truk ODOL). Kita punglinya masih banyak, mulai dari seragam sampai yang tidak pakai baju,” ujar Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno saat berbincang dengan Liputan6.com di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba, Sumatera Utara.
Berdasarkan kisah dari adiknya yang merupakan pengusaha barang, Djoko menyebut, perusahaan angkutan darat rutin menyetor bayaran tiap bulannya ke oknum aparat.
“Dishub DKI jakarta tuh masih pungli, Bekasi juga. Bekasi parah itu. Tapi saya telusuri Bekasi itu bukan oknum ASN-nya, honorer. Honor itu biar dia setor duit, buat diangkat lagi jadi honorer. Lingkaran setannya di situ,” ungkapnya.
Selain pungli, Djoko juga menyoroti oknum-oknum yang doyan menerima amplop, untuk meloloskan truk obesitas agar bisa lanjut mengaspal. “Kemudian, cawe-cawe aparat penegak hukum di jembatan timbang juga masih tinggi,” imbuhnya.
Di luar itu, Djoko juga menyoroti belum adanya kompas standar untuk pengemudi truk besar. Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa mencontoh kebijakan yang dilakukan PT Freeport Indonesia kepada para pengemudi truk tambang emas di Papua.
“Pertambangan supirnya ketat. Mau berangkat, tensi darah diperiksa. Saya pernah ke Freeport, di sana KIR kita enggak berlaku, tapi angka kecelakaannya nol. Selama 10 tahun terakhir cuman satu kali kecelakaan. Tapi rute dia dari Timika ke Tembagapura, ketat supirnya, mau berangkat diperiksa,” bebernya.