Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Arshintya Damayati menilai sejumlah insentif dan kebijakan fiskal yang diberikan pemerintah belum signifikan mendongkrak kinerja manufaktur dalam negeri.
Terlebih, pertumbuhan industri manufaktur tercatat berada di angka 4,55% (year on year/yoy) pada kuartal I/2025. Angka tersebut positif, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,89%.
Sementara itu, kontribusi manufaktur terhadap PDB juga terus melemah atau stagnan di kisaran 18–19%. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan era 1980–1990 di mana manufaktur memberikan sumbangsih 32% terhadap PDB.
“Kalau kita mau mengembalikan kontribusi manufaktur, berarti kan kita harus memperbaiki juga permintaan domestik,” ujar Arshintya dalam bincang-bincang FactoryHub Bisnis Indonesia, dikutip Minggu (12/10/2025).
Performa sektor manufaktur ini sejalan dengan tertekannya daya beli masyarakat karena sejumlah faktor. Arshintya mengemukakan salah satu penyebabnya adalah konsumsi domestik yang melambat.
Kedua, ekspektasi masyarakat yang memburuk, terlihat dari turunnya konsumsi barang tahan lama (durable goods). Ketiga, ekspor yang masih didominasi barang mentah meskipun hilirisasi meningkat di sektor logam dasar.
Tak sampai di sana, dia menyebut investasi yang ada saat ini belum cukup mendorong permintaan jangka panjang. Sebagian besar investasi masuk ke sektor perdagangan, yang lebih bersifat konsumtif, bukan ke sektor produksi baru yang menciptakan productive demand atau permintaan yang produktif.
Di satu sisi, pemerintah memang telah berupaya memperkuat daya beli, misalnya dengan subsidi listrik rumah tangga pada awal tahun.
“Tetapi kontribusi konsumsi listrik terhadap total pengeluaran hanya sekitar 2–3%, jadi dampaknya terhadap daya beli hampir tidak terasa,” jelasnya.
Arshintya juga menyoroti kebijakan hilirisasi yang dinilai baik karena mendorong pengolahan sumber daya di dalam negeri. Namun, industri berbasis smelter sangat padat modal, bukan padat karya.
Akibatnya, dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja cenderung terbatas dan manfaatnya sering kali hanya dinikmati oleh pendatang, bukan penduduk lokal.
Pemerintah juga telah memperbaiki perizinan melalui PP 28 tentang perizinan berbasis risiko, dengan inovasi seperti service level agreement, fiktif positif, dan penyederhanaan OSS.
“Ini langkah maju, tetapi masalah utama industri bukan hanya administrasi, melainkan juga iklim usaha yang berbiaya tinggi,” imbuhnya,
Menurut Enterprise Survey 2023, 15,4% perusahaan di Indonesia masih menyebut kejahatan dan pencurian sebagai hambatan utama, dan 10,1% menganggap korupsi hambatan terbesar.
Bahkan, 60% perusahaan besar mengaku harus menyuap untuk memperoleh izin konstruksi. Selama biaya-biaya semacam ini masih tinggi, investor tetap akan ragu.
Untuk energi, pemerintah sudah mencoba menurunkan harga gas industri menjadi US$6 per MMBtu bagi tujuh sektor prioritas, tetapi realisasinya belum efektif karena keterbatasan distribusi dan kontrak jangka panjang.
Sebagai perbandingan, Malaysia menetapkan biaya gas industri di angka US$4–5 per MMBtu dan AS di kisaran US$3–4 per MMBtu. Hal ini membuat industri nasional masih kalah kompetitif.
Adapun dari sisi fiskal, pemerintah sejatinya telah memberikan sejumlah insentif seperti tax holiday, tax allowance, dan super deduction tax untuk riset dan pengembangan (R&D). Namun, pemanfaatannya masih terbatas, terutama karena mekanisme pengajuannya membingungkan. Banyak riset berhenti di tahap prototipe dan belum sampai ke komersialisasi.
