Makanan Laut, Atasi Problem Nutrisi dan Gizi Buruk

Makanan Laut, Atasi Problem Nutrisi dan Gizi Buruk

Bisnis.com, JAKARTA – Program makan bergizi gratis (MBG) yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai program prioritas nasional bertujuan untuk mengatasi masalah ketidakcukupan nutrisi pada anak-anak sekaligus memutus rantai lingkaran kemiskinan di Indonesia.

Masalah gizi buruk menjadi menjadi tantangan global, khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kekurangan protein hewani dan nutrisi esensial berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas, kualitas hidup, daya tahan tubuh, dan perkembangan generasi muda. Dalam konteks ini, Kristin A. Wintersteen (2021) dalam bukunya The Fishmeal Revolution menyoroti perkembangan industrialisasi perikanan di Amerika Latin, khususnya di Cile dan Peru mampu mengubah laut menjadi sumber pro tein utama bagi dunia.

Pengalaman di Amerika Latin ini menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam membangun industri perikanan yang dapat mendukung program MBG mengatasi masalah nutrisi dan gizi buruk.

Sejak pertengahan abad ke-20, laut telah dipandang sebagai ladang protein yang mampu menyelesaikan krisis gizi global. Produksi industri pengolahan hasil perikanan seperti tepung dan minyak ikan menjadi salah satu inovasi penting yang menghubungkan sumber daya laut dengan kebutuhan nutrisi manusia. Protein laut menjadi jawaban atas masalah kelangkaan protein darat, terutama di wilayah yang menghadapi pertumbuhan penduduk pesat seperti di wilayah pesisir dan perkotaan.

TANTANGAN AKSES

Meski produksi protein dari laut meningkat, tantangan besar tetap ada dalam hal distribusi dan akses. Negara-negara produsen, seperti Peru, justru mengalami masalah gizi buruk di kalangan masyarakat miskin, karena hasil laut mereka lebih banyak diekspor ketimbang dikonsumsi domestik. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis dan politik, bagaimana memastikan sumber protein bergizi tinggi dari laut dapat benar-benar mengatasi malanutrisi di negara-negara produsen? Kasus industrialisasi perikanan di Amerika Latin memberi pelajaran bahwa potensi sumber daya ikan juga dapat menciptakan paradoks.

Cile dan Peru memanfaatkan stok ikan kecil, seperti ikan teri dan ikan-ikan rucah untuk menghasilkan tepung ikan (fishmeal) dalam skala besar. Secara teknis, ini me respons kekurangan protein global, fishmeal menyediakan protein murah untuk pakan ternak dan akuakultur sehingga meningkatkan produksi protein hewani di tingkat global.

Namun, ada paradoks, sebagian besar hasil laut ini tidak dialokasikan untuk konsumsi manusia di negara produsen, melainkan menjadi input industri di negara lain. Akibatnya, negara-negara produsen yang kaya sumber laut tidak selalu menikmati perbaikan gizi domestik, malah terjadi penyingkiran penggunaan ikan untuk kebutuhan pangan lokal.

Pemerintah Indonesia perlu mengintegrasikan makan bergizi gratis sebagai program prioritas nasional dengan gagasan makanan laut bergizi untuk mengatasi masalah nutrisi dan gizi buruk. Hal demikian dapat dilakukan dengan memperhatikan aspek historis dan teknis dengan beberapa strategi konkret yang dapat dikembangkan yaitu;Pertama, memprioritaskan pasar domestik untuk komoditas ikan bernilai gizi tinggi.

Pemerintah perlu mendesain kebijakan berupa insentif, kuota, harga jaminan yang dapat mendorong sebagian hasil tangkapan dan budi daya diolah untuk konsumsi lokal, bukan sepenuhnya diekspor atau dialihkan ke tujuan pakan. Ini bukan antiekspor, melainkan penataan agar kebutuhan gizi nasional terpenuhi terlebih dahulu.

Kedua, penghiliran komoditas hasil laut berteknologi ringan yang ramah nutrisi, yaitu dengan mendorong investasi dan transfer teknologi mild processing pada unit-unit pengolahan ikan lokal dan koperasi nelayan, seperti cold chain terjangkau, pembekuan cepat, pengolahan fillet ikan higienis, surimi berkualitas, pengemasan vakum, hingga harga pokok produksi pada skala menengah.

Ketiga, produk makan laut bernilai gizi untuk kelompok rentan. Pemerintah perlu mengembangkan produk ber nutrisi khusus, misalnya makanan bayi berbasis ikan, suplemen protein ikan dan minyak ikan untuk sekolah/posyandu, dan menu makanan laut porsi siap saji untuk daerah bencana dengan formula yang mempertahankan omega-3, vitamin dan mineral. Produk semacam ini dapat menjadi bagian dari program intervensi gizi nasional yang masuk ke dalam progam prioritas nasional.

Keempat, penguatan rantai dingin dan logistik mikro. Pemerintah perlu secara serius menata infrastruktur cold storage di pelabuhan perikanan skala kecil, truk berpendingin, dan fasilitas pengolahan terdekat sangat penting agar ikan segar tidak cepat rusak. Di samping itu inovasi bisnis seperti membangun hub pemrosesan dalam mengelola transaksi keuangan, data hasil tangkapan ikan dan informasi harga di koperasi dan usaha mikro, kecil menengah (UMKM) untuk dapat menurunkan biaya dan meningkatkan akses.

Kelima, kebijakan inklusif dan proteksi nelayan kecil. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan penghiliran tidak hanya menguntungkan korporasi besar. Insentif, kredit mikro, pelatihan teknologi pangan dan sertifikasi mutu harus diarahkan pada UMKM dan koperasi nelayan agar manfaat ekonomi dan gizi tersebar.

Keenam, jaminan keberlanjutan sumber daya ikan. Intensifikasi produksi dan penghiliran harus didasarkan pada praktik penangkapan dan budidaya ikan yang mandiri dan berkelanjutan, agar sumber gizi laut tidak habis terambil demi keuntungan jangka pendek seperti pada beberapa kasus fishmeal. Penggunaan berbagai alat tangkap yang destruktif perlu dievaluasi dan diselesaikan secara serius dan tuntas.

Makanan laut bergizi harus ditempatkan sebagai sumber daya strategis dalam mengatasi malanutrisi di Indonesia. Orientasi industrialisasi perikanan nasional perlu diarahkan selain untuk mengubah wajah perdagangan ikan melalui proses transformasi di sektor perikanan, juga orientasi sosial perlu diarahkan untuk memastikan protein laut tersedia bagi kelompok ma syarakat yang paling membutuhkan. Dengan kombinasi kebijakan makan bergizi gratis, inovasi produk, dan tata kelola perikanan berkelanjutan, laut dapat menjadi penyelamat dalam menghadapi tantangan nutrisi di masa mendatang.