Jakarta – Pemerintah melaksanakan program makan bergizi gratis mulai 6 Januari 2025. Program ini ditargetkan untuk siswa dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA. Pemerintah telah menyiapkan 20 persen dari anggaran Rp 71 triliun yang dialokasikan sepanjang 2025. Anggaran per porsi yang tadinya Rp 15.000 direvisi menjadi Rp 10.000, yang dinilai tetap memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan daerah masing-masing.
Meskipun memiliki niat baik untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, program ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis yang perlu diperhatikan. Ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya baik di atas kertas, tetapi juga relevan, efektif, serta sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat kita.
Filsafat Pendidikan
Program makan bergizi dimulai ketika para siswa telah selesai liburan akhir tahun dan mulai masuk sekolah lagi. Dalam filsafat pendidikan, pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses penyampaian pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun karakter, kemandirian, dan kemampuan berpikir kritis. Dalam konteks ini, program makan bergizi dapat dikritisi karena pendekatannya yang berisiko terlalu paternalistik.
Penyediaan makanan bergizi secara gratis, meskipun bertujuan baik, dapat mengurangi keterlibatan aktif siswa dan masyarakat dalam memahami dan mengelola kebutuhan gizi mereka sendiri. Daripada hanya memberikan makanan, program ini dapat dirancang untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran tentang gizi, pertanian lokal, dan keberlanjutan. Misalnya, sekolah-sekolah dapat didorong untuk mengembangkan kebun pangan mandiri yang melibatkan siswa sebagai bagian dari kurikulum, seperti misalnya warung hidup, pesta kebun, ataupun kantin kejujuran.
Dengan cara-cara tersebut, siswa tidak hanya menerima makanan bergizi tetapi juga memahami pentingnya pertanian lokal dan cara memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Pendekatan ini lebih selaras dengan tujuan pendidikan yang holistik, yaitu membentuk individu yang tidak hanya sehat secara fisik tetapi juga cerdas dan mandiri.
Selain itu, program ini dapat memperkuat mentalitas ketergantungan jika tidak diiringi dengan pendidikan yang memadai.
Anak-anak mungkin tumbuh dengan anggapan bahwa kebutuhan gizi mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tanpa menyadari peran mereka sendiri dalam menjaga pola makan sehat. Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk membentuk individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan komunitasnya sebagai pendidikan karakter kerja keras, mandiri, belajar hidup dan memproduksi etos nilai sebagai budayanya.
Hal ini menjadi penting dan mendasar untuk menandingi perspektif modernisme global. Dalam konteks program makan bergizi, ia dapat dilihat sebagai bagian dari tren global yang mengutamakan standar-standar universal dalam penyelesaian masalah lokal. Penyediaan makanan bergizi yang disesuaikan dengan standar global berpotensi mengabaikan konteks lokal, seperti budaya kuliner, ketersediaan bahan pangan lokal, dan preferensi masyarakat.
Misalnya, jika makanan yang disediakan lebih mengacu pada standar gizi internasional yang tidak mempertimbangkan keragaman budaya pangan Indonesia, program ini dapat menciptakan alienasi budaya di kalangan siswa. Anak-anak mungkin dipaksa mengonsumsi makanan yang tidak mereka kenal atau tidak sesuai dengan kebiasaan makan keluarga mereka, yang dapat mengurangi efektivitas program ini dalam jangka panjang. Hal ini juga dapat mempercepat homogenisasi budaya pangan, menggantikan keanekaragaman kuliner lokal dengan makanan yang lebih seragam secara global.
Selain itu, modernisme global sering membawa implikasi ekonomi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Jika program ini mengandalkan bahan pangan impor atau produsen besar yang memiliki akses ke pasar global, maka petani lokal dapat kehilangan peluang untuk berkontribusi. Dalam jangka panjang, ini dapat melemahkan kemandirian ekonomi lokal dan meningkatkan ketergantungan pada pasar global.
Produk Kebudayaan
Makanan tidak sekadar memasukkan kue, nasi, dan sejenisnya ke dalam mulut, untuk mengenyangkan perut. Makanan juga terbingkai oleh spiritualitas budaya, seperti makanan dalam sesaji, makanan yang digunakan dalam labuhan, tumpeng untuk ulang tahun, dan sebagainya. Makanan juga kaya budaya spiritual, selain mengandung gizi yang bermanfaat secara fisiologi (Endraswara, 2024). Makanan juga merupakan kebudayaan.
Sebagai produk kebudayaan, makanan menjadi bagian perspektif prinsip-prinsip pemajuan kebudayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan lokal.
Salah satu kritik utama terhadap program makan bergizi, ia berisiko mengabaikan pelestarian dan pengembangan budaya pangan lokal. Jika program ini tidak secara eksplisit memprioritaskan penggunaan bahan pangan lokal yang khas dari setiap daerah, maka potensi pemajuan kebudayaan melalui program ini akan hilang. Padahal, setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi kuliner yang kaya dan unik, yang dapat menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan menu makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan gizi sekaligus mempertahankan identitas budaya lokal.
Program ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong dalam budaya lokal. Misalnya, pengelolaan program makan bergizi dapat melibatkan komunitas lokal, termasuk orang tua siswa, petani, dan pelaku usaha mikro. Dengan cara ini, program ini tidak hanya menjadi solusi atas masalah gizi tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas sosial dan kemandirian komunitas.
Kritik terhadap program makan bergizi ini bukan berarti menolak program tersebut, melainkan menyoroti aspek-aspek yang perlu diperbaiki agar program ini lebih efektif dan relevan. Untuk itu, perspektif pemajuan kebudayaan penting untuk memastikan kebijakan ini tidak hanya meningkatkan gizi anak-anak tetapi juga memperkuat identitas budaya lokal.
Lebih dari sekadar kebijakan kesehatan dan sarana untuk melestarikan tradisi kuliner yang kaya, program ini dapat menjadi sarana untuk mendukung bahan pangan lokal dengan melibatkan komunitas setempat, untuk membangun masyarakat yang sehat, mandiri, dan bangga akan identitas budayanya, sekaligus mendukung pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Melalui pendekatan yang holistik dan kontekstual, program makan bergizi dapat menciptakan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia.
Purnawan Andra alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan; bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan
(mmu/mmu)