JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima pengajuan permohonan perlindungan bagi 86 siswa korban ledakan di SMAN 72 Jakarta. Permohonan ini diajukan Polda Metro Jaya usai insiden yang terjadi pada 17 November 2025.
Permohonan perlindungan diajukan terkait tindak pidana yang disangkakan kepada pelaku, mulai dari pasal mengenai tindakan yang membahayakan nyawa orang lain hingga penggunaan bahan peledak sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Wakil Ketua LPSK Susilaningtias menegaskan pemulihan korban anak menjadi prioritas lembaga. Ia menilai penanganan tidak hanya menyangkut kondisi fisik, tetapi juga rasa aman dan kesehatan mental.
“Yang paling utama adalah memastikan anak-anak tidak menanggung trauma ini sendirian. Negara wajib hadir memberikan pelindungan menyeluruh,” kata Susilaningtias dalam keterangannya, Kamis, 27 November.
Susi menyatakan ledakan di SMAN 72 masuk kategori tindak pidana yang mengancam keselamatan jiwa. Dengan dasar itu, korban berhak mengajukan perlindungan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Artinya, meskipun kasus ini tidak termasuk dalam kelompok tindak pidana khusus seperti terorisme, ancaman terhadap nyawa korban menjadi dasar hukum kuat bagi korban untuk mendapatkan pelindungan LPSK,” tuturnya.
Karena mayoritas korban adalah anak, ketentuan dalam UU Perlindungan Anak juga diberlakukan. Termasuk hak anak korban untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi yang dibayarkan pelaku atas kerugian yang dialami.
Susi menegaskan seluruh korban dalam kasus ini dapat diproses permohonannya untuk restitusi. Penghitungan nilai kerugian dilakukan sesuai mandat peraturan pemerintah terkait mekanisme ganti rugi korban tindak pidana. Dalam perkara dengan pelaku anak, restitusi dimungkinkan dibayarkan melalui pihak ketiga.
“Restitusi adalah hak anak sebagai korban. Nilainya akan dihitung berdasarkan kerugian nyata yang dialami, termasuk biaya medis, psikologis, serta penderitaan yang dialami oleh korban. Dalam perkara pelaku anak, restitusi dapat dibayarkan oleh pihak ketiga sesuai ketentuan hukum,” jelas Susi.
Lebih lanjut, LPSK juga menyoroti pentingnya mendengarkan langsung keterangan anak. Menurut Susilaningtias, pemulihan tidak dapat dilakukan jika suara mereka tidak dilibatkan dalam proses.
“Anak-anak ini sudah berada pada usia remaja dan punya pandangan serta kebutuhan yang harus dihormati. Karena itu, kami akan berbicara langsung dengan mereka, selain keterangan dari orang tua atau pendamping,” ucapnya.
Terkait status anak yang diduga sebagai pelaku, Susi menegaskan LPSK belum diberikan mandat memberikan perlindungan kepada yang bersangkutan. Perlindungan hanya dapat diberikan kepada saksi, korban, ahli, pelapor, atau saksi pelaku.
Namun LPSK membuka kemungkinan apabila dalam perkembangan penyidikan ditemukan indikasi bahwa anak tersebut juga menjadi korban.
“Jika ada indikasi bahwa anak mengalami eksploitasi, manipulasi, tekanan, atau bentuk viktimisasi lainnya, statusnya dapat masuk dalam kategori korban, dan LPSK dapat memberikan pelindungan dalam kapasitas tersebut,” tandasnya.
