Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
extraordinary
atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
“Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
“Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
“Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
“Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
“Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
“Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
“Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
“Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
“Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
“KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.