Adapun terkait daya tarik Jakarta sebagai tujuan utama urbanisasi, Trubus menilai hal itu tidak terlepas dari statusnya yang masih menjadi ibu kota, sehingga peluang investasi sangat besar, dan mau tidak mau Jakarta tetap akan menjadi magnet bagi para pendatang.
“Karena asumsinya Jakarta itu masih ibu kota sampai hari ini. Dan karena masih ibu kota, berarti infrastrukturnya masih cukup memadai di sini. Sehingga potensi akan terjadinya investasi besar-besaran dari luar kan sangat besar, Apalagi kemudian, yang kedua, kondisi keamanan di Jakarta kan relatif terjamin belakangan ini, ketertiban umumnya. Jadi di situ harapannya kemudian banyak investor yang masuk. Jadi ini berarti, Jakarta masih punya daya tarik,” jelas Trubus.
Ia menilai, Jakarta selama ini sudah memberi pelatihan dan keterampilan bagi warga para pendatang. Namun masalahnya, pembiayaan pelatihan tersebut belum melibatkan pemerintah daerah asal.
“Ini kan membebani Jakarta kalau terus-terusan. Jakarta sendiri yang menyelenggarakan tanpa ada bantuan dari daerah asal. Ini kan yang paling enak jadi daerah asal, Karena banyak orang ini dari Bogor ikut pelatihan di Jakarta. Orang dari Bekasi ikut di Jakarta. Harusnya pelatihan diselenggarakan oleh pemerintah daerah masing-masing atau bekerjasama dengan daerah asal,” pungkasnya.
Sementara itu, Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menilai, perlu ada klarifikasi apakah angka lonjakan pendatang benar-benar mencerminkan pendatang baru atau sekadar mereka yang ikut arus balik mudik.
“Data itu harus kita cek lagi, data pendatang baru atau data dari arus balik? Nah, karena kan kita tidak melakukan pengecekan terkait asal tujuan. Jangan lupa mereka itu adalah orang yang balik dari mudik kemarin, itu kan pencatatan berdasarkan jumlah kedatangan jadi kan tidak mencerminkan pendatang baru atau tidak,” kata Yayat saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (17/4/2025).
Yayat menekankan bahwa definisi pendatang secara administratif hanya bisa dibuktikan melalui laporan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Artinya, mereka yang benar-benar pindah domisili wajib melakukan pelaporan identitas secara resmi.
“Kalau jumlah pendatang itu berdasarkan sistem pelaporan di Dukcapil. Nah, kenapa itu dicatat? Karena mereka yang pindah dan semua punya identitas. Mengapa butuh surat keterangan pindah? Karena jadi alamat untuk kerja, Dia perlu KTP, dia perlu identitas yang jelas. Jadi pencatatan pendatang yang melakukannya adalah oleh Dukcapil,” jelas Yayat.
Lebih lanjut, Yayat mengingatkan bahwa pendatang yang tidak melaporkan diri akan mengalami kesulitan administratif, terutama saat melamar pekerjaan atau mengakses layanan publik.
“Pertanyaannya kan sederhana. KTP-nya mana? Nah, maka artinya di sini pencatatan penduduk itu menjadi penting. Jadi, kalau mereka yang tidak terdata, itu artinya mereka tidak diregister sebagai penduduk warga Jakarta,” ujarnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3463050/original/047518300_1621764307-20210523-Dukcapil-DKI-Catat-27.160-Warga-Balik-ke-Jakarta_-9.537-Pendatang-Baru-TALLO-8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)