Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Lonjakan Harga Beras Dunia Cuatkan Harapan-Nestapa Petani Thailand

Lonjakan Harga Beras Dunia Cuatkan Harapan-Nestapa Petani Thailand

Jakarta

Setelah musim panen terakhir, Sripai Kaeo-eam nekat bergegas membersihkan sawahnya agar bisa menanam padi pada Bulan Agustus, di luar arahan yang diberikan pemerintah Thailand yang ingin membatasi pemborosan air.

“Varietas ini adalah harapan kami,” kata petani berusia 58 tahun itu, menunjuk kepada bibit padi berwarna hijau yang hanya setinggi beberapa sentimeter saja. Sripai ingin cepat mendulang rejeki karena harga beras sedang menanjak tajam, sementara dia sedang dililit utang sebesar 200 ribu Baht atau sekitar Rp. 90 juta. Naiknya harga beras di pasar global dipicu larangan ekspor beras di India.

Kondisi itu seharusnya menguntungkan petani Thailand. Negeri gajah putih itu sejak lama mencatatkan diri sebagai eksportir beras terbesar kedua di dunia. Pada 2022, Thailand mengekspor 7,7 juta ton beras ke Timur Tengah, Asia dan Afrika, menurut lembaga penelitian Krungsri Research.

Tapi yang terjadi bukan pertumbuhan, malah sebaliknya. Luas sawah di Thailand tercatat malah berkurang sebanyak 14,5 persen sejak setahun terakhir. Angkanya sudah berkurang secara konsisten sejak 2020.

Menurut pakar, sistem pertanian Thailand sedang terancam oleh tingkat utang yang tinggi, minimnya inovasi teknologi dan perubahan iklim. Tekanan tersebut tidak berkurang meski subsidi pertanian sebesar miliaran Dollar AS dikucurkan pemerintah selama satu dekade terakhir. Saat ini, banyak keluarga petani yang berutang besar karena gagal panen setelah meminjam uang untuk membiayai musim tanam.

“Berkurangnya luas sawah dikarenakan minimnya hujan dan irigasi,” kata Somporn, peneliti senior di Jejaring Institut Pengetahuan Thailand (KNIT). Maraknya kekeringan diyakini akan bertambah parah, menyusul musim El Nino yang akan bertahan hingga 2024.

“Pemerintah tidak berbuat cukup untuk meningkatkan produktivitas” lanjut Somporn. Kini, ketika harga melonjak, “petani tidak bisa memproduksi beras,” kata dia, sembari menambahkan kekeringan akan memangkas hasil panen sebanyak 30 persen selama dua musim ke depan.

Terlena keberhasilan di masa lalu

Namun minimnya investasi dalam beberapa dekade terakhir, ikut berimbas pada produktivitas petani Thailand. Pada 2018, petani Thailand memproduksi 485 kilogram beras per 1600 meter persegi. Adapun di Bangladesh, petani bisa menghasilkan 752 kg dan di Nepal 560 kg.

“Kita terlena oleh keberhasilan sendiri,” kata Nipon. “Varietas beras kita sangat tua dan hasil panen kita sangat rendah.”

Petani Thailand hanya boleh menanam varietas yang sudah diizinkan pemerintah. Mereka bisa dikenakan hukuman jika membeli atau mengembangkan jenis varietas lain. Kemunduran riset di Thailand dibarengi investasi besar-besaran oleh India dan Vietnam. Akibatnya, produktivitas petani di kedua negara kini sudah melampaui petani Thailand.

Terlebih, kondisi cuaca yang kian tidak menentu menghadirkan tantangan baru yang tidak mudah untuk disiasati. “Pola cuaca ekstrem yang dibawa oleh fenomena El Nino menciptakan risiko besar bagi petani,” kata Perdana Menteri Srettha Thavisin, pekan lalu. Rata-rata curah hujan tahun ini tercatat 18 persen lebih rendah dan kolam-kolam penampungan air bersih hanya terpenuhi sebanyak 54 persen dari kapasitas total, tulis Kantor Sumber Daya Air Nasional.

“Akan ada konsolidasi dalam pengelolaan air dan inovasi, demi meningkatkan hasil panen, serta menemukan pasar baru untuk produk pertanian Thailand,” kata PM Thavisin.

Namun bagi Sripai, terlepas dari rencana pemerintah, lonjakan harga beras kali ini adalah kesempatan langka untuk mengejar ketertinggalan. “Kami berharap bisa melunasi utang-utang kami,” kata dia, sambil duduk di depan gubug kayu yang dihuninya. “Kami tetap terus berdoa.”

rzn/as (rtr,afp)

(ita/ita)