Bisnis, JAKARTA – Keberhasilan Paviliun Indonesia di World Expo 2025 yang berhasil menyelenggarakan lebih dari 104 kegiatan business forum dan one-on-one meeting dengan komitmen investasi senilai lebih dari US$28,4 miliar tak lepas dari keberadaan liaison officer. Sebagai garda terdepan, keberadaan liaison officer (LO) menjadi pemandu sekaligus duta budaya bagi 3,5 juta orang yang mengunjungi paviliun yang mengusung tema Thriving in Harmony: Nature, Culture, Future.
Deviana, liaison officer asal Bandung, mengaku bergabung menjadi petugas di Paviliun Indonesia di World Expo 2025 karena tahu bahwa event ini hanya diadakan sekali dalam lima tahun. “Dan di tahun 2025 Expo itu diadakan di Jepang. Jadi aku tertarik untuk berpartisipasi dalam LO Indonesia Pavilion, ” ujarnya.
Sementara Sultan dari Tangerang punya alasan yang sedikit berbeda. “Yang pertama karena menurut aku ini pengalaman besar banget. Dan juga kesempatan untuk kenalin budaya kekayaan Indonesia ke orang-orang Jepang secara langsung. Dan juga aku memang suka banget ngobrol sama orang asing, ” ungkap Sultan.
Tugas mereka sebagai LO tidaklah mudah. Setiap hari, mereka harus memperkenalkan area-area yang ada di dalam Paviliun Indonesia kepada pengunjung dari berbagai negara, mayoritas berbahasa Jepang. Baik Deviana maupun Sultan mengakui bahwa mereka tidak bisa Bahasa Jepang sebelum berangkat. Deviana hanya menguasai dasar saja, sementara Sultan memulai dari nol dengan belajar dari YouTube dan Duolingo.
“Cuma setelah beberapa bulan di sini, lama-lama kami terbiasa untuk ngomong bahasa Jepang. Karena materinya pun ada bahasa Jepang, ada bahasa Inggris. Dan gimana kita meng-guide pengunjung juga menggunakan bahasa Jepang,” jelas Deviana.
Pihak Bappenas menyediakan materi dalam bahasa Inggris dan Jepang, yang membantu para LO untuk cepat beradaptasi. “Seiring berjalan waktu, kami semua bukan aku doang makin lama makin belajar makin paham lah bahasa Jepang,” tambah Sultan. Kemampuan bahasa ini menjadi kunci penting, mengingat mayoritas dari 3,5 juta pengunjung yang tercatat adalah warga lokal Jepang.
Ketika ditanya zona mana yang paling menarik, baik Deviana maupun Sultan kompak menyebut area Topeng. “Karena di Topeng itu area pertama dari seluruh Indonesia Pavilion yang bisa memberikan Kesan yang baik kepada para warga supaya mereka mau explore Indonesia Pavilion,” ungkap Deviana.
Sultan menambahkan di area Topeng pengunjung juga dapat melakukan interaksi langsung, seperti bermain games maupun aktivitas lainnya. “Menurut aku itu sesi yang paling seru. Karena bisa ngebangun first impression dari para audiens yang hadir ke Paviliun Indonesia,” terangnya.
Pengalaman paling menyenangkan Sultan adalah saat menerima hadiah dari anak-anak Jepang, seperti origami. Sementara Deviana juga merasakan perubahan sikap pengunjung dari waktu ke waktu. “Untuk awal-awal mungkin aku nggak terlalu melihat ekspresi dan maksudnya output-nya dari visitor. Cuman makin kesini mereka semua semakin lebih ekspresif lagi. Karena dari panitianya sendiri itu kita juga ekspresi. Jadi ketika mereka keluar dari pintu exit, mereka juga kayak arigatou gozaimasu, arigatou gozaimasu. Nah itulah yang membuat kita senang untuk kerja di Paviliun Indonesia,” jelas Deviana.
KREATIVITAS LIAISON OFFICER
Deviana bercerita awalnya kunjungan ke Paviliun Indonesia masih sepi. Memasuki bulan kedua dan ketiga, para LO mencoba ide untuk bernyanyi di depan paviliun dan ikut mengajak serta pengunjung yang hadir. Lagu yang mereka nyanyikan adalah “Yoyaku Nashi de Sugu Hareru” yang artinya “ayo silakan masuk tanpa reservasi”. Lagu yang awalnya hanya sebagai kalimat promosi ini justru kemudian ada yang me-remix lagunya.
Lagu ini bahkan ikut menjadi viral bersama dengan penampilan LORO, burung beo dari Paviliun Indonesia yang turut menyanyikan lagu serupa. Fenomena ini begitu viral hingga dinyanyikan oleh anak-anak di sekolah, di restoran, bahkan di rumah sakit.
Sultan menjelaskan penggubahan lagu-lagu Indonesia menjadi Bahasa Jepang bertujuan untuk menarik perhatian. Strategi ini terbukti ampuh. Dari target awal 2,8 juta pengunjung, Paviliun Indonesia berhasil mencatat lebih dari 3,5 juta pengunjung menjelang penutupan pada 12 Oktober 2025.
Sultan mengamati bahwa orang Jepang cenderung introvert. Karena itu, upaya yang dilakukan LO di Paviliun Indonesia diharapkan menjadi media bagi orang Jepang untuk menyalurkan ekspresi yang sedang mereka rasakan. ”Jadi medium juga. Dan menurut aku dengan joget, nyanyi, kita ngajak mereka untuk bersama-sama itu merupakan salah satu kiat yang kami lakukan untuk ajak mereka untuk tertarik dan belajar langsung di Paviliun Indonesia.”
Deputi Bidang Ekonomi dan Transformasi Digital Kementerian PPN/Bappenas sekaligus Komisioner Jenderal Paviliun Indonesia di World Expo 2025 Osaka Vivi Yulaswati mengonfirmasi fenomena ini. “Di Jepang ini ternyata budaya antreannya sangat luar biasa, walaupun hujan, panas, dan dalam kondisi apapun mereka mau mengantre. Nyanyian yang dibuat para LO mengajak secara emosional. Mereka tidak hanya puas sekali untuk datang ke Indonesia karena keceriaan, kemudian juga bisa tertawa lepas itu betul-betul bisa dirasakan oleh mereka,” tuturnya.
Satu kata yang paling sering didengar dari pengunjung adalah sugoi yang berarti menakjubkan atau hebat. Karena itu, Sultan pun merasa senang dengan penampilan yang dihadirkan dalam Paviliun Indonesia di World Expo 2025.
Di penghujung penyelenggaraannya, Paviliun Indonesia juga turut memperoleh penghargaan perak kategori Exhibition Design untuk Self-built Pavilion dengan luas lahan berukuran lebih dari 1.500 meter persegi dari Bureau International des Expositions. Penghargaan yang diterima secara langsung oleh Vivi Yulaswati ini juga menggambarkan perjuangan para LO seperti Deviana dan Sultan.
