Jakarta, Beritasatu.com – Perdebatan mengenai lafal niat puasa Ramadan sering penulis temukan, terlebih lagi di kalangan para pembelajar ilmu nahwu. Perdebatan ini muncul pada lafal رمضان, apakah dibaca dengan harakat akhir fathah atau kasrah?
Niat dalam puasa Ramadan atau puasa wajib ini memang menjadi hal yang krusial karena merupakan bagian dari fardunya puasa. Di antara empat fardunya puasa adalah niat, menahan makan dan minum, menahan dari melakukan jima, serta menahan dari muntah dengan sengaja.
Adapun kegiatan sahur yang menjadi rutinitas ketika puasa tersebut juga tidak bisa dijadikan sebagai niat, meskipun diniatkan sebagai usaha untuk dapat menjalani puasa dengan sempurna.
Bagaimana Cara Niat Puasa?
Meskipun demikian, niat itu tidak harus diucapkan, karena hukum pengucapannya sunah. Apabila melihat makna dari niat, yaitu قّصْدُ شَيْئٍ مُقْتَرَنًا بِفِعْلِهِ (menyengaja melakukan sesuatu yang dibarengi dengan perbuatan tersebut) di mana tempatnya di dalam hati. Oleh karena itu, di sini letak kesunahan pengucapan lafal puasa.
Perdebatan ini juga muncul ketika tradisi masyarakat yang menjalankan tradisi melaksanakan pengucapan niat bersama setelah salat tarawih, sehingga perbedaan bacaan menjadi hal yang samar atau bias bagi masyarakat yang tidak mempelajari secara dalam ilmu nahwu. Lalu manakah bacaan niat yang benar itu?
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّهِ تَعَالَى
atau
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّهِ تَعَالَى
Apabila dibahas dalam segi nahwu, perbedaan pembacaan pada kedua niat tersebut terletak pada lafal رمضان yang merupakan isim ghoiru munsarif. Secara teori, isim ghoiru munsarif yang tidak bisa menerima tanwin ini, jika diposisikan pada konteks kalimat demikian yang menjadi mudhof ilaih yang harus dibaca khofd/ jer. Maka, yang paling tepat adalah membacanya dengan harakat fathah, karena tanda jer isim ghoiru munsarif adalah fathah.
Akan tetapi, pada hakikatnya keduanya, baik dibaca fathah atau kasrah sama-sama bisa digunakan, tetapi dengan pembenahan berikut ini:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ لِلّهِ تَعَالَى
atau
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّهِ تَعَالَى
Adapun analisis kedua kalam tersebut menurut gramatika nahwu adalah sebagaimana berikut ini.
Lafal Niat Pertama
Lafal ramaḍāna diharakati fathah merupakan isim ghoiru munsarif dengan kedudukan sebagai muḍāf ilayh yang wajib dibaca jer dengan tanda fathah. Adapun lafal setelahnya, هَذِهِ السَّنَة, kalimat al-sanah wajib diharakati akhir fathah karena berkedudukan sebagai dharf al-zamān (keterangan waktu) yang wajib dibaca naṣab dengan tanda fathah pada kasus isim mufrad.
Lafal Niat Kedua
Lafal ramaḍān diharakati kasrah merupakan isim ghoiru munsarif (yang dalam hal ini telah menjadi munsarif) dengan kedudukan sebagai muḍāf ilayh yang wajib dibaca jer dengan tanda kasrah pada kasus isim mufrad serta berkedudukan sebagai muḍāf kalimat setelahnya. Adapun lafal setelahnya, هَذِهِ السَّنَة, kalimat al-sanah wajib diharakati akhir kasrah karena berkedudukan sebagai muḍāf ilayh lafal رَمَضَانِ.
Pada kedua keterangan tersebut ada perbedaan pengkategorian lafal رَمَضَانِ, dimana pada penjelasan pertama disebut sebagai isim ghoiru munsarif, sedangkan pada penjelasan kedua disebut sebagai isim yang sudah munsarif dan kembali kepada hukum isim-isim lainnya. Sebagaimana keterangan dalam kitab Alfiyyah Ibn Mālik dan Kawākib al-Durriyah, ke-ghoiru munsarif-an suatu kalimat akan hilang atau akan kembali ke munsarif, apabila di-idhofah-kan (disandarkan kepada kalimat lain) atau kembali dimasuki alif lam.
Dari kedua pendapat tersebut, mayoritas ulama lebih banyak atau lebih mengutamakan penggunakaan niat lafal kedua dibanding yang pertama, yaitu dengan memposisikan laafai hadhihi al-sannah sebagai susunan idhofah dengan kalimat ramaḍāni.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, baik penggunaan harakat akhir fathah atau kasrah pada lafal ramadān, kedunya sama-sama diperbolehkan dengan komposisi bacaan lengkapnya sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ لِلّهِ تَعَالَى
atau
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّهِ تَعَالَى
Terlepas dari lafal yang disebutkan dalam Bahasa Arab tersebut, perlu diketahui bahwasanya sejatinya niat itu berada di dalam hati. Pada praktiknya nanti, apabila niat itu diucapkan sah-sah saja jika tidak menggunakan Bahasa Arab, yaitu menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Sasak, dan lain sebagainya.
Penulis adalah mahasiswi program magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)