“Kuburan Rumah” Bekas Banjir di Aceh Tamiang: Dikelilingi Lumpur, Jadi Tak Layak Huni

“Kuburan Rumah” Bekas Banjir di Aceh Tamiang: Dikelilingi Lumpur, Jadi Tak Layak Huni

“Kuburan Rumah” Bekas Banjir di Aceh Tamiang: Dikelilingi Lumpur, Jadi Tak Layak Huni
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Banjir bandang dan longsor yang menerjang wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terjadi beberapa pekan lalu mengakibatkan kerusakan parah pada sejumlah desa, di mana lokasi terparah adalah Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
Di Aceh, proses pemulihan berjalan agak lama lantaran infrastruktur yang terputus dan
lumpur
yang tak kunjung surut.
Ada banyak rumah tertimbun lumpur hingga setinggi dada orang dewasa, bahkan beberapa bangunan hilang tertelan material lumpur yang mengeras bak semen.
Pakar Kebijakan Publik dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, tahap pemulihan harus difokuskan pada penataan kembali permukiman, relokasi, dan sosial ekonomi warga yang terdampak berat.
Trubus menuturkan, penentuan lokasi relokasi menjadi poin krusial agar masyarakat tidak dikembalikan ke kawasan rawan.
“Daerah yang sudah tertimbun lumpur atau berubah kontur tanahnya tidak layak lagi dihuni. Kalau dipaksakan, warga bisa kembali trauma dan ancaman bencana susulan tetap ada,” ujar Trubus, kepada Kompas.com, Kamis (10/12/2025).
Senada, Ahli klimatologi dan perubahan iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menilai, lokasi-lokasi yang terdampak
banjir bandang
dan longsor di Aceh berpotensi besar tidak lagi layak untuk ditempati.
Hal itu disebabkan endapan lumpur atau sedimentasi yang cukup tebal dan berlapis-lapis yang kini mengering dan mengeras, sehingga mustahil dipulihkan dengan cara pembersihan biasa.
Menurut Erma, pemulihan permukiman di wilayah yang tertimbun lumpur jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan bencana lain seperti gempa, tsunami, atau banjir reguler.
“Lumpur-lumpur itu mengeras, jadi semua yang terendam sangat sulit diambil dan diselamatkan,” ujar dia.
Pada gempa bumi, reruntuhan masih dapat diangkat menggunakan alat berat untuk kemudian dibersihkan.
“Tapi ini tidak bisa sama sekali, tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi,” tegas dia.
Menurut Trubus, pemerintah harus segera mengambil keputusan jelas terkait pemindahan warga, baik ke hunian sementara maupun ke lokasi relokasi permanen.
Ia menekankan, penetapan lokasi harus mempertimbangkan aspek keselamatan, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi.
Selain itu, Trubus menilai, arahan Presiden mengenai pemanfaatan lahan untuk mendirikan rumah sementara merupakan langkah tepat, terutama bagi mereka yang rumahnya telah rusak total.
“Ada rumah-rumah yang memang sudah tidak mungkin digunakan. Tertimbun lumpur, struktur tanah berubah, sulit dibersihkan. Tidak boleh lagi warga dipaksa tinggal di situ,” kata dia.
Ia mengingatkan, banyak penyintas kehilangan mata pencarian akibat bencana, sehingga risiko jatuh ke jurang kemiskinan meningkat.
Dalam kondisi demikian, pemerintah diminta memberi perhatian khusus pada kelompok masyarakat yang rentan.
“Pembangunan kembali rumah, layanan pendidikan untuk anak-anak, hingga dukungan pemulihan ekonomi harus diprioritaskan. Pemerintah daerah harus benar-benar menyesuaikan intervensi dengan kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat miskin,” ujar dia.
Menurut Erma, kondisi sedimentasi ekstrem yang muncul pascabencana membuat beberapa titik pemukiman benar-benar tidak dapat direhabilitasi.
Bahkan, proses pemetaan ulang wilayah terdampak perlu segera dilakukan untuk menentukan area mana yang sudah tidak mungkin dihuni kembali.
“Kalau tetap direkonstruksi di tempat yang sama, justru menimbulkan persoalan baru. Ini berantai kalau tidak cepat diselesaikan,” kata Erma.
Trubus menilai, proses pemulihan di Aceh harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya membangun kembali infrastruktur fisik tetapi juga memastikan warga bisa kembali hidup layak.
Erma mengingatkan bahwa Aceh saat ini baru memasuki fase tanggap darurat, yang idealnya berlangsung satu hingga dua minggu.
Namun, hingga minggu kedua, penanganan masih belum tuntas, sehingga BNPB telah memperpanjang status tanggap darurat untuk kedua kalinya.
“Ini baru tanggap darurat, belum masuk tahap rehabilitasi dan
recovery
. Artinya, ketidakpastian bagi warga bisa semakin panjang kalau tidak dipercepat,” ujar dia.
Erma menekankan pentingnya percepatan penanganan agar masyarakat terdampak tidak berlarut-larut menghadapi risiko lanjutan maupun beban psikologis akibat kehilangan tempat tinggal.
“Korban tidak boleh terlalu lama berada dalam situasi ketidakpastian. Proses pemetaan, keputusan relokasi, dan rencana pemulihan harus segera dibuat,” kata dia.
Menurut Trubus, sejumlah titik terdampak banjir dan longsor di Aceh perlu sesegera mungkin dilakukan pembersihan material lumpur, pendataan kerusakan rumah, serta penyiapan skema relokasi oleh pemerintah.
Pemerintah daerah diminta bergerak cepat agar masyarakat yang kehilangan rumah tidak terus berlama-lama di pengungsian.
“Jangan sampai mereka kembali ke tempat yang berbahaya. Pemulihan harus menjamin keamanan dan keberlanjutan hidup masyarakat ke depan,” tegas Trubus.
Adapun warga yang rumahnya terdampak pengerasan lumpur tebal, dialami oleh Nasruddin (38), warga Dusun Meunasah Krueng Baroh, Desa Manyang Cut, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya.
Nasruddin masih harus bertahan di lokasi pengungsian, dan keluarganya belum dapat pulang karena rumah mereka terkubur lumpur tebal sisa banjir bandang yang melanda kawasan tersebut.
Tebalnya endapan lumpur, sekitar 1,5 meter di bagian depan rumah dan setinggi pinggang di dalam rumah, tidak mungkin dibersihkan dengan tenaga warga sendiri.
Nasruddin menyebut satu-satunya cara hanyalah menggunakan alat berat, situasi yang juga dialami banyak keluarga lain di desanya.
“Tidak sanggup kita bersihkan lumpur sekitar 1,5 lebih di depan, sedangkan di dalam rumah lumpur sepinggang,” kata Nasruddin, kepada Kompas.com, Senin (8/12/2025).
Karena kondisi itu, warga Manyang Cut masih memilih bertahan di pos pengungsian.
Sebagian kecil warga yang luapan lumpurnya tidak terlalu parah hanya berani kembali sesaat untuk mencuci pakaian, sebelum kembali lagi ke tempat pengungsian.
“Sedangkan rumah belum ada yang membersihkan sampai hari ini. Bagaimana cara kita bersihkan, karena pembuangan tidak ada,” ujar dia.
Setelah rumah warga korban banjir longsor tertelan lumpur dan mengeras, minimnya bantuan membuat warga mulai kelaparan dan kesulitan bertahan hidup.
Muhammad Hendra Vramenia, warga Kampung Bundar di Kecamatan Karang Baru, menggambarkan kondisi memilukan yang terjadi.
Ia menyebut, beberapa desa kini hilang ditelan lumpur, tertutup tumpukan kayu dan balok-balok raksasa.
Salah satunya Desa Sekumur, yang sebelumnya dihuni sekitar 1.234 jiwa dengan 280 rumah.
Kini, seluruh permukiman itu musnah setelah dihantam banjir setinggi hampir 7 meter.
“Desanya sudah tidak ada lagi, rata tanah karena disapu banjir. Yang tersisa hanya bangunan masjid,” ujar Hendra, kepada Kompas.com, Sabtu (6/12/2025).
Menurut Hendra, warga kini hidup dalam kecemasan.
Kampung-kampung terputus dari akses luar, sementara logistik hampir tidak ada.
Situasi serupa terjadi di Pematang Durian (Kecamatan Sekerak), Pantai Cempa, Babo, hingga Sulum.
“Daerah ini masih terisolasi. Kalau ada bantuan, tolong tembus ke wilayah yang belum disentuh sama sekali. Karena 12 kecamatan di Aceh Tamiang terdampak. Makanya saya bilang ini seperti tsunami,” kata dia.
Hendra meminta pemerintah pusat di Jakarta benar-benar memperhatikan kondisi Aceh Tamiang dan menetapkan kejadian tersebut sebagai bencana nasional.
Ia menilai, kemampuan pemerintah daerah sangat terbatas dan tidak mungkin mampu memulihkan kerusakan yang begitu luas secara mandiri.
“Penanganannya harus seperti saat pemerintah melakukan pemulihan pascatsunami di Banda Aceh. Jika tidak, situasinya bisa makin parah. Sekarang saja Aceh Tamiang sudah seperti kota yang dipenuhi limbah di mana-mana,” tutur Hendra.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.