PIKIRAN RAKYAT – Perum Bulog mencatat rekor baru dalam penyerapan beras domestik tahun 2025. Namun, di tengah keberhasilan itu, perusahaan pelat merah ini menghadapi tantangan terkait perbedaan kualitas beras lokal dibandingkan beras impor yang sebelumnya umum digunakan.
Untuk itu, Bulog meminta dukungan dari Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, agar pemerintah daerah turut aktif menyosialisasikan perubahan ini kepada masyarakat.
Rekor Pengadaan Beras Domestik
Kepala Divisi Perencanaan Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Epi Sulandari menjelaskan bahwa penyerapan beras sepanjang Maret 2025 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Bulog.
Sampai akhir Maret 2025, pengadaan beras untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) telah mencapai 725 ribu ton. Angka itu terus meningkat hingga mencapai 1,27 juta ton pada 20 April 2025.
“Ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” ucap Epi dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Tahun 2025, Senin 21 April 2025.
Sebagian besar dari beras yang diserap tersebut berasal langsung dari petani dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Jika dikonversikan, sekitar 53 persen dari total volume pengadaan telah menjadi beras siap distribusi.
Dengan capaian tersebut, stok CBP yang saat ini dikelola Bulog mencapai 2.775.389 ton. Di luar itu, Bulog juga memiliki stok beras komersial sebanyak 40.628 ton. Totalnya, lebih dari 2,8 juta ton beras sudah tersebar di berbagai gudang Bulog di seluruh wilayah Indonesia.
Perbedaan Kualitas Beras: Lokal vs Impor
Di balik keberhasilan pengadaan, Epi mengingatkan bahwa kualitas beras lokal berbeda dengan beras impor yang sebelumnya biasa disalurkan Bulog, terutama untuk program bantuan pangan dan stabilisasi harga melalui program SPHP.
“Yang sebelumnya kita menggunakan stok eks impor dengan broken 5%. Sementara untuk pengadaan CBP dari dalam negeri kita menggunakan broken 25%,” ujarnya.
Kadar patahan (broken) beras menjadi penanda kualitas yang cukup mencolok. Beras dengan patahan 5% cenderung lebih utuh dan penampilannya seragam, sebagaimana yang umum ditemukan dalam beras impor.
Sementara beras lokal, terutama hasil penggilingan dari GKP yang diserap langsung dari petani, memiliki kadar patahan lebih tinggi, yakni mencapai 25%.
Epi mengakui bahwa perbedaan ini mungkin akan memicu kebingungan di kalangan penerima bantuan atau masyarakat umum. Oleh karena itu, ia secara khusus meminta peran aktif pemerintah daerah.
“Mohon bantuan kepada Bapak Mendagri dan Bapak/Ibu Gubernur dan Walikota, untuk mensosialisasikan atas perbedaan kualitas stok CBP,” ucapnya.
Penugasan Resmi Berdasarkan Inpres
Bulog tidak serta-merta beralih ke beras lokal tanpa dasar. Perubahan strategi ini dilandasi oleh penugasan resmi dari Badan Pangan Nasional (Bapanas), yang mengamanatkan penyerapan hingga 3 juta ton gabah dan beras dari dalam negeri sepanjang 2025.
Penugasan tersebut diperkuat oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang pengadaan dan pengelolaan gabah dan beras dalam negeri. Melalui kebijakan ini, pemerintah pusat menegaskan komitmennya dalam memperkuat ketahanan pangan nasional dengan mengutamakan hasil produksi petani lokal.
Antisipasi Persepsi Masyarakat
Meskipun beras lokal memiliki kadar patahan yang lebih tinggi, Epi memastikan bahwa kualitas dan nilai gizinya tetap memenuhi standar konsumsi. Namun, secara visual, beras lokal memang terlihat kurang menarik dibandingkan beras impor.
Bulog berharap dukungan pemerintah daerah dapat meredam persepsi negatif dan mendorong pemahaman bahwa perbedaan tampilan tidak berarti penurunan mutu. Sosialisasi yang masif dinilai penting agar distribusi bantuan dan program stabilisasi harga berjalan lancar tanpa gangguan dari persepsi konsumen.
Dengan stok yang melimpah dan dukungan kebijakan nasional, langkah Bulog menyerap produksi dalam negeri sekaligus memperkuat cadangan beras nasional diharapkan dapat menjaga stabilitas pangan di tengah tantangan inflasi dan gejolak cuaca yang kian tak menentu.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
