Bisnis.com, JAKARTA – Bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang wilayah Pulau Sumatera, khususnya Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada penghujung 2025 ini mendapat keprihatinan mendalam secara nasional maupun internasional.
Berdasarkan data Geoportal Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Senin (1/12) pagi, banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di tiga provinsi tersebut telah menelan korban jiwa mencapai 442 orang dengan ratusan lainnya masih dinyatakan hilang dan tercatat 1,1 juta orang di 47 kota/kabupaten terdampak bencana ini.
Kerusakan infrastruktur vital hingga luasnya bencana tersebut membuat masyarakat dan warganet mendesak Pemerintah Pusat untuk dijadikan sebagai Bencana Nasional.
Namun, penetapan status Bencana Nasional tidak semata-mata didasarkan pada jumlah korban atau luasnya wilayah terdampak, melainkan pada indikator-indikator ketat yang diatur oleh BNPB dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Berikut adalah penjelasan mengenai status keadaan darurat dan mekanisme penetapannya melansir Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana yang dibuat oleh BNPB.
Apa itu Status Keadaan Darurat Bencana?
Status keadaan darurat adalah aturan dasar agar pemerintah dapat bergerak cepat menangani dampak bencana. Berdasarkan pedoman BNPB, Status Keadaan Darurat Bencana didefinisikan sebagai keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk jangka waktu tertentu atas rekomendasi BNPB yang dapat dimulai dari siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat ke pemulihan.
Penetapan tersebut menjadi dasar “kemudahan akses” dalam mengerahkan sumber daya manusia, logistik, hingga pengelolaan anggaran darurat (Belanja Tidak Terduga) untuk penanganan bencana secara maksimal.
Status ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Siaga Darurat: Ketika potensi ancaman sudah mengarah pada terjadinya bencana yang ditandai dengan informasi peningkatan ancaman.
2. Tanggap Darurat: Keadaan ketika ancaman bencana benar-benar terjadi dan telah mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat.
3. Transisi Darurat ke Pemulihan: Ketika ancaman bencana cenderung menurun, namun gangguan kehidupan dan penghidupan masih berlangsung.
Kapan Status Naik Menjadi Bencana Nasional?
Perbedaan antara bencana tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional terletak pada tingkat kemampuan pemerintahan lokal/pusat dalam menangani bencana, bukan hanya pada besarnya kerusakan fisik.
BNPB membagi tingkatan keadaan darurat menjadi tiga tingkat: kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Kenaikan status didasarkan pada indikator kelumpuhan atau ketidakmampuan pemerintahan daerah dalam tiga aspek: mobilisasi sumber daya, aktivasi sistem komando, dan pelaksanaan penanganan awal (SAR dan pemenuhan kebutuhan dasar).
1. Status Darurat Kabupaten/Kota: Bupati/Walikota masih mampu memobilisasi sumber daya, mengaktifkan sistem komando, dan menangani kebutuhan awal korban meskipun terbatas.
2. Status Darurat Provinsi: Gubernur mengambil alih penanganan bencana jika pemerintah kabupaten/kota kolaps dalam menangani bencana tersebut. Hal ini harus didukung pernyataan resmi ketidakmampuan dari Bupati/Walikota.
3. Status Darurat Nasional (status tertinggi): dilakukan jika Pemerintah Provinsi terdampak bencana tidak memiliki kemampuan untuk memobilisasi sumber daya manusia di provinsinya, mengaktivasi sistem komando penanganan darurat, dan melaksanakan penyelamatan, evakuasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar korban.
Dengan kata lain, selama Pemerintah Daerah (Gubernur dan/atau Walikota/Bupati) masih mampu menjalankan aktivitas pemerintahan dan menangani bencana di daerahnya, status Bencana Nasional belum bisa ditetapkan secara teknis, meskipun Pemerintah Pusat tetap turun langsung untuk membantu penanganan bencana.
Prosedur Penetapan Bencana Nasional
Saat pemerintah daerah sudah tidak mampu menangani bencana di daerahnya, prosedur penetapan status Bencana Nasional tidak bisa langsung diputuskan Pemerintah Pusat, melainkan bersifat berjenjang seperti berikut:
1. Surat Pernyataan Gubernur: Gubernur wilayah terdampak harus mengeluarkan surat kepada Presiden yang menyatakan ketidakmampuan provinsinya dalam menangani kedaruratan secara maksimal.
2. Pengkajian Cepat: Paling lambat 1×24 jam setelah surat dari Gubernur dikeluarkan. BNPB dan Kementerian/Lembaga terkait melakukan pengkajian cepat situasi di lapangan.
3. Rapat Koordinasi Nasional: Hasil kaji cepat dibahas dalam rapat tingkat nasional untuk membuat rekomendasi tindak lanjut bencana.
4. Penetapan Presiden: Jika rekomendasi disetujui, Presiden akan menetapkan status darurat bencana nasional. Namun, jika dinilai belum perlu, Pemerintah Pusat akan memberikan pendampingan penuh tanpa mengambil alih status.
Saat ini, meskipun desakan masyarakat menguat akibat besarnya skala kerusakan di Sumatera, Pemerintah Pusat melalui BNPB masih mengambil langkah penguatan personel dan logistik kepada Pemerintah Daerah, tanpa mengambil alih status menjadi Bencana Nasional, selama fungsi pemerintahan daerah di Aceh, Sumut, dan Sumbar dinilai belum lumpuh total.
Sebelumnya, Pemerintah Daerah Aceh dan Sumatra Utara telah menetapkan status tanggap darurat bencana daerah sejak Kamis (27/11), sedangkan Sumatra Barat sejak Selasa (25/11). Penetapan tersebut akan berlaku selama 14 hari ke depan di ketiga provinsi tersebut. (Stefanus Bintang Agni)
