Yogyakarta (beritajatim.com) — Musim kemarau diperkirakan datang lebih awal di sejumlah wilayah Indonesia, mendorong para ahli dan pemerintah untuk mengimbau masyarakat agar lebih sigap mengelola ketersediaan air.
Berdasarkan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau tahun ini dimulai sejak April hingga Mei dan diperkirakan mencapai puncaknya pada Juni dan Juli.
Dr. Emilya Nurjani, pakar klimatologi dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan bahwa variasi awal dan lama musim kemarau di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pola angin musiman atau muson. “Muson Asia membawa hujan, sedangkan Muson Australia biasanya menandai awal musim kemarau. Tapi kedatangannya tidak serentak di seluruh wilayah,” jelasnya.
Di samping faktor muson, Emilya menyebutkan sejumlah fenomena iklim lain seperti El Niño, La Niña, dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang juga bisa memengaruhi curah hujan. Namun, tahun ini ia memprediksi minim gangguan dari fenomena-fenomena tersebut, sehingga perubahan cuaca cenderung stabil.
Durasi kemarau pun diperkirakan bervariasi. Di beberapa daerah, bisa mencapai 8 bulan atau setara 24 dasarian. Menanggapi hal ini, Emilya menyarankan masyarakat—khususnya petani—untuk menyesuaikan strategi pertanian mereka. “Pilihlah tanaman yang tahan kekeringan dan memiliki masa panen yang lebih singkat,” ujarnya.
Pengelolaan air juga menjadi perhatian utama. Emilya menyarankan penggunaan teknologi panen air hujan (rainwater harvesting) selama hujan masih turun dalam beberapa minggu ke depan. Kolam retensi juga bisa menjadi solusi alternatif cadangan air, terutama di wilayah yang memiliki sistem irigasi terbatas.
Selain untuk pertanian, manajemen air rumah tangga juga perlu ditingkatkan. Warga disarankan mulai menyimpan air bersih sejak sekarang, terutama yang tinggal di daerah rawan kekeringan. “Langkah-langkah preventif ini penting agar kita tidak kekurangan air saat musim kemarau benar-benar tiba,” pungkasnya. [aje]
