KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan
Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
TINGKAT
kepuasan publik terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kini berada pada posisi relatif tinggi.
Survei terbaru menunjukkan tujuh dari sepuluh peserta menyatakan puas terhadap layanan yang mereka terima.
Bahkan, hanya segelintir yang belum pernah memanfaatkan fasilitas kesehatan melalui kartu BPJS Kesehatan.
Angka ini menegaskan bahwa legitimasi sosial program JKN cukup kuat. Bagi masyarakat luas, JKN bukan sekadar program pemerintah, melainkan pelindung konkret, jaring pengaman ketika risiko kesehatan mengancam rumah tangga.
Kartu ini menjelma simbol solidaritas nasional: buruh, petani, pedagang, hingga pegawai, semua berada dalam satu sistem gotong royong yang sama.
Namun, di tengah apresiasi itu, publik dihadapkan pada wacana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang memicu diskusi sengit.
Tujuan KRIS sejatinya mulia: menstandarkan kualitas minimum ruang rawat inap sehingga setiap pasien, tanpa memandang kelas kepesertaan, tidak dirawat di bawah ambang mutu.
Negara ingin memastikan tidak ada lagi warga yang harus berbaring di ruangan sempit tanpa privasi atau tanpa akses oksigen memadai.
Namun, gagasan ini justru menimbulkan tafsir beragam. Sebagian pejabat menyebut KRIS berarti penghapusan kelas menjadi satu standar tunggal.
Sebagian lain menegaskan kelas tetap ada, hanya saja setiap kelas wajib memenuhi dua belas kriteria dasar, seperti jarak antarbed, ketersediaan kamar mandi, hingga suhu ruangan yang stabil.
Ambiguitas inilah yang menimbulkan kebingungan publik. Peserta kelas tiga cenderung mendukung karena berharap mutu meningkat, sementara peserta kelas satu khawatir kehilangan kenyamanan yang selama ini dianggap haknya.
Masalah mendasar terletak pada makna “standar”. Dalam teori keadilan sosial, standar minimum adalah pagar bawah yang wajib dijaga negara, bukan seragam yang memaksa semua orang sama.
Standar minimum memastikan keselamatan, privasi, dan martabat dasar, tetapi tidak meniadakan ruang bagi pilihan tambahan.
Sayangnya, komunikasi publik gagal menjelaskan hal ini dengan gamblang. Alhasil, muncul persepsi bahwa KRIS akan menghapus diferensiasi, bukan memperbaiki mutu.
Padahal, di banyak negara, standardisasi pelayanan dasar justru menjadi kunci keberhasilan sistem jaminan kesehatan.
Inggris dengan National Health Service (NHS) menetapkan standar minimum perawatan, tetapi tetap memberi ruang pilihan layanan tambahan bagi mereka yang membayar lebih.
Thailand dengan Universal Coverage Scheme juga menjaga standar dasar, sehingga tidak ada warga miskin yang tertinggal.
Indonesia seharusnya belajar bahwa standar bukan ancaman, melainkan instrumen pemerataan.
Kesiapan infrastruktur menjadi tantangan lain. Tidak semua rumah sakit berada pada titik yang sama.
Rumah sakit rujukan nasional di kota besar mungkin sudah memenuhi hampir seluruh kriteria, tetapi banyak rumah sakit daerah masih tertinggal.
Perpanjangan masa transisi hingga Desember 2025, adalah langkah realistis, tetapi waktu tanpa peta jalan jelas hanya berarti penundaan.
Penerapan KRIS harus dibagi dalam tahapan yang transparan. Kriteria yang menyangkut keselamatan pasien—seperti akses oksigen, privasi, dan sanitasi—harus dipenuhi lebih dulu, sedangkan kriteria tambahan dapat menyusul.
Tanpa pembagian prioritas, standardisasi hanya akan menjadi beban yang membingungkan.
Persoalan biaya tidak kalah penting. Renovasi ruang, penyediaan peralatan, dan pelatihan tenaga memerlukan investasi besar.
Rumah sakit swasta dan daerah sering kali kesulitan menanggung beban tersebut. Jika tidak ada dukungan pembiayaan proporsional, maka risiko penurunan kapasitas layanan akan muncul.
Rumah sakit bisa mengurangi jumlah tempat tidur atau memperketat penerimaan pasien. Lebih buruk lagi, muncul praktik defensif: pasien dipulangkan lebih cepat, penanganan ditunda, atau layanan dipersulit.
Beberapa kasus pasien yang dikembalikan ke rumah meski kondisi klinisnya belum stabil adalah peringatan bahwa garis merah pelayanan harus dijaga. Nyawa tidak boleh tunduk pada prosedur klaim.
Transformasi digital yang selama ini dipromosikan sebagai solusi birokrasi pun belum menjawab masalah mendasar.
Antrean daring masih tidak memotong waktu tunggu. Rujukan elektronik kerap gagal menjamin kepastian slot rumah sakit lanjutan.
Aplikasi digital justru membebani pasien yang tidak terbiasa dengan teknologi atau tinggal di daerah dengan jaringan internet terbatas.
Digitalisasi seharusnya diukur dari manfaat yang dirasakan pasien: lebih cepat, lebih jelas, lebih mudah.
Jika aplikasi hanya memindahkan antrean dari loket ke layar tanpa mengurangi kerumitan, maka digitalisasi tidak lebih dari ilusi modernisasi.
Implikasi dari persoalan ini tidak ringan. Ambiguitas definisi KRIS akan melahirkan ketidakpastian implementasi di lapangan.
Rumah sakit akan menafsirkan aturan sesuai kapasitas masing-masing, sehingga tercipta ketidakmerataan baru, bukan hilangnya ketidakadilan lama.
Ketidakjelasan pembiayaan akan menekan rumah sakit hingga mengorbankan akses pasien. Digitalisasi yang tidak efektif akan meningkatkan frustrasi warga, terutama generasi muda yang terbiasa dengan layanan cepat.
Semua ini bermuara pada satu risiko paling serius: hilangnya kepercayaan publik. Padahal, kepercayaan adalah fondasi jaminan sosial.
Tanpa kepercayaan, iuran dipandang sebagai beban, bukan gotong royong. Tanpa kepercayaan, klaim dipandang sebagai sengketa, bukan kontrak. Tanpa kepercayaan, pelayanan dipandang sebagai formalitas, bukan penyelamatan.
Karena itu, ada beberapa langkah yang harus segera ditempuh. Pertama, pemerintah perlu menyampaikan narasi tunggal tentang KRIS, dengan ilustrasi nyata bagaimana ruang rawat akan berubah. Visualisasi sederhana lebih meyakinkan daripada jargon abstrak.
Kedua, implementasi harus berbasis prioritas. Kriteria yang menyangkut keselamatan harus segera terpenuhi, sementara aspek lain dapat menyusul.
Ketiga, pembiayaan transisi harus adil. Rumah sakit yang berhasil memenuhi standar layak diberi insentif, sementara yang tertinggal perlu mendapat pendampingan, bukan sanksi yang menutup layanan.
Keempat, prosedur “zero denial” harus ditegaskan: tidak ada pasien ditolak pada kondisi darurat, tidak ada pasien dipulangkan sebelum stabil.
Kelima, digitalisasi harus berorientasi hasil: mempercepat waktu, memperjelas rujukan, dan meningkatkan transparansi antrean. Jika aplikasi tidak memenuhi tujuan itu, lebih baik disederhanakan.
Selain itu, penting untuk melihat KRIS bukan hanya sebagai kebijakan teknis, melainkan sebagai cermin politik kesehatan.
Sebagai negara dengan penduduk hampir 280 juta jiwa, Indonesia sedang membangun narasi bahwa kesehatannya dijamin oleh solidaritas nasional.
Bila kebijakan ini gagal dikomunikasikan dan dilaksanakan, yang rusak bukan hanya layanan rumah sakit, melainkan legitimasi negara di mata rakyat.
Publik menilai negara bukan dari teks undang-undang, melainkan dari pengalaman di meja registrasi, dari sikap perawat di ruang tunggu, dari ketersediaan oksigen di ruang rawat.
Keadilan sosial tidak diuji di ruang sidang, tetapi di ruang gawat darurat.
Kita juga perlu belajar dari sejarah. Sejak JKN diluncurkan pada 2014, banyak kritik diarahkan pada defisit keuangan, birokrasi klaim, dan keterlambatan pembayaran rumah sakit.
Namun, seiring waktu, sistem ini berkembang menjadi instrumen penting pemerataan kesehatan.
Tantangan kini bukan sekadar menjaga kelangsungan finansial, melainkan memperkuat kualitas.
KRIS adalah kesempatan untuk mengubah wajah JKN dari sekadar jaminan biaya menjadi jaminan mutu. Namun, kesempatan ini bisa berubah menjadi bumerang jika salah ditangani.
Pada akhirnya, KRIS bukan sekadar soal kelas rawat inap, melainkan soal martabat. Standar minimum yang ditegakkan dengan konsisten adalah janji negara bahwa tidak ada warga yang dirawat di bawah garis kemanusiaan.
Standar yang baik tidak menurunkan yang sudah baik, tetapi mengangkat yang tertinggal. Ia bukan seragam yang menghapus perbedaan, melainkan fondasi yang memastikan semua orang diperlakukan layak.
Bila dijalankan dengan arah yang jelas, pembiayaan adil, komunikasi jujur, dan etika pelayanan yang memprioritaskan keselamatan, KRIS akan dikenang sebagai tonggak pemerataan, bukan ancaman kenyamanan.
Standar, pada akhirnya, adalah janji. Janji bahwa di ruang rawat yang terang, dengan partisi yang menjaga privasi, oksigen yang selalu tersedia, panggilan perawat yang segera dijawab, dan kamar mandi yang memadai, negara hadir bukan sekadar sebagai pengawas, tetapi sebagai penopang.
Dan ketika pasien pulang dengan tubuh yang pulih dan hati yang lega, kebijakan itu menemukan arti sejatinya: bukan di lembar peraturan, tetapi di kehidupan yang kembali utuh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan Nasional 6 September 2025
/data/photo/2025/05/26/68346f79f1257.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)