JAKARTA – Banyak orang yang sudah mendengar sejarah kelam lahan Masjid Jakarta Islamic Center (JIC) yang dulunya merupakan lokasi prostitusi terbesar se-Asia Tenggara bernama Kramat Tunggak. Kami akan mengulas lebih dalam perjalanan transformasi lahan yang sempat menjadi kandang pemuas hasrat menjadi tempat suci bagi umat Islam di wilayah Koja, Jakarta Utara ini.
Tim VOI berbincang dengan salah satu pegawai yakni Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Manajemen Badan Pengelola JIC, Paimun. Ia mendengar langsung kisah asal-usul JIC dari Kepala Islamic Center periode pertama, Djailani. Kata Paimun, Djailani paham betul soal peristiwa ini mengingat beliau pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI bidang Kesejahteraan Masyarakat pada 1997.
Semua bermula dari keresahan mantan Gubernur DKI Ali Sadikin atas keberadaan praktek prostitusi yang tersebar di Jakarta, khususnya pusat kota seperti Senen dan Salemba. Sampai akhirnya Ali melakukan perjalanan ke Bangkok, Thailand sekitar tahun 1970. Ia heran, di sana tak ada satu pun pekerja seks komersial yang terlihat. Ternyata, segala kegiatan prostitusi di sana berkumpul dalam satu lokasi.
“Dari situ, beliau (Ali Sadikin) punya ide. Agar pemerintah daerah bisa mengontrol prostitusi di Jakarta, caranya adalah membuat lokalisasi di Kramat Tunggak dan menarik retribusi dari pengelola tersebut,” kata Paimun saat berbincang dengan VOI, Sabtu, 16 November.
Kramat Tunggak dulunya merupakan lahan kosong. Hanya ada pepohonan dan rawa-rawa. Lokasi ini menjadi pilihan karena berada di pinggir Ibu Kota. Awal lokalisasi, tercatat sebanyak 250 pelacur dikumpulkan, bersama 58 germo. Namun, ternyata malah berkembang hingga mencapai 2000 orang.
“Itu juga yang terdata tinggal di dalam lokalisasi, belum WTS (Wanita Tuna Susila) yang tinggal di sekitar situ tapi kucing-kucingan kerja di sana. disebut sebagai tempat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara,” kata Paimun.
Secara ekonomi, perputaran uang di sana memang fantastis, mencapai miliaran per tahun. Tapi, tak dapat ditampik bahwa lokasi prostitusi ini menampung banyak permasalahan.
Periode Gubernur berganti, timbul keresahan di masyarakat sekitar. Di sana, angka kriminalitas menjadi tinggi, kasus pembunuhan hampir setiap hari terjadi, sampai virus HIV-AIDS menyebar. Banyak ibu merasa khawatir, takut jika suaminya mencoba ‘jajan’ di sana hingga mengganggu keutuhan keluarga.
Tak hanya itu, ternyata pengelola Kramat Tunggak juga memanipulasi bentuk bangunan demi menghindari pajak yang lebih besar. Ada bangunan yang dari luar terlihat hanya satu lantai, tapi ternyata mereka membuat lantai baru pada bagian atap.
Hingga Sutiyoso menjabat sebagai Gubernur DKI pada 1997, timbul kesadaran kalau ternyata lokalisasi prostitusi di Kramat Tunggak adalah kesalahan. Apalagi, sejumlah masyarakat dan ulama terus berdemo selama 30 tahun karena menolak praktik prostitusi di sana.
“Pada tahun 1998, di kala krisis moneter, pengunjung agak berkurang karena memikirkan kondisi keuangan sehingga pendapatan dan retribusi menurun. Pak Sutiyoso ambil momen ini, lalu mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur yang menyatakan akan menutup total pada 31 Desember 1999,” jelas dia.
Kompleks Jakarta Islamic Center (Diah Ayu Wardani/VOI)
Selama menunggu waktu penutupan, para pekerja seks dan germo mendapat pembinaan dari Dinas Sosial DKI. Mereka diberikan pelatihan keterampilan, mulai dari tata boga, tata busana, hingga kecantikan.
“Sebanyak 1615 orang dilatih selama setahun. Setelah itu mereka punya sertifikat dan dipulangkan ke kampung masing-masing, rata-rata daerah Pantura,” kata Paimun.
Sebagian PSK tak mau dipulangkan. Mereka pindah ke Rawa Malang, Cilincing, Jakarta Utara. Model bangunan prostitusi dibuat mirip dengan Kramat Tunggak. Sekarang, sudah tidak ada penerus prostitusi Kramat Tunggak. Kalau pun masih ada yang tinggal di sana, mereka tak lagi bekerja sebagai PSK karena umurnya sudah tua.
Lahan bekas prostitusi Kramat Tunggak sempat menjadi polemik. Sutiyoso bingung menentukan mau diapakan lahan tersebut. Ada pikiran untuk membuat rumah susun sewa. Namun, ada juga tawaran untuk membangun mal dan hotel.
“Sampai akhirnya Pak Sutiyoso terpanggil untuk umrah. Terus dia terinspirasi untuk membangun masjid. Dia meminta konsultasi dengan Azzumardi Azra yang saat itu menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah. Ternyata rencana pembangunan masjid itu didukung penuh,” katanya.
Perancangan masjid dimulai sejak 2001 dan diresmikan pada Maret 2003. Sutiyoso membuat JIC menjadi kompleks masjid terbesar se-Indonesia, dengan lahan seluas 109.435 m2. Masjid ini dapat menampung jamaah hingga 20.680 orang.
Di dalam kompleks masjid terdapat gedung perkantoran, perpustakaan, aula dan beberapa fasilitas pendukung lainnya.