Jakarta, Beritasatu.com – Ketua KPU Mochammad Afifuddin menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah harus menjadi momentum memperbaiki sistem pemilu Indonesia ke depannya. Menurutnya, putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 itu harus dijalankan karena sudah final dan mengikat.
“MK sudah memutuskan satu opsi pemilu, yaitu pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Jadi, putusan itu yang harus dijalankan. Putusan ini harus menjadi titik perbaikan pemilu ke depan,” ujar Afifuddin saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK” di ruang BAKN, Gedung Nusantara II DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Afifuddin mengakui putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal akan berdampak sangat luar biasa. Hanya saja, kata dia, KPU meresponsnya biasa saja karena sudah berpengalaman menjalankan pemilu dengan masalah yang sangat kompleks.
“Menurut kami biasa saja. Kami sudah melakukan pemilu terberat pada 2019 dan 2024. Jadi dampaknya dari putusan MK ini biasa saja, yang penting ini menjadi titik perbaikan,” tandas Afifuddin.
Menurut dia, putusan MK tersebut harus menjadi titik untuk perbaikan sistem pemilu. Semua pihak harus berpikir untuk menjadikan pemilu ke depan menjadi lebih baik, sehingga tidak berbagai persoalan yang terjadi di pemilu sebelumnya tidak terulang lagi.
Dalam kaitan dengan perbaikan sistem pemilu, KPU mengusulkan agar dilakukan seleksi penyelenggara pemilu secara serentak. Selama ini, seleksi penyelenggara pemilu dilakukan tidak serentak. Bahkan, H-1 pemilihan masih ada pergantian penyelenggara pemilu.
Dalam diskusi yang digelar Fraksi PKB itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan pelaksanaan putusan MK harus menunggu hasil revisi UU Pemilu. Karena itu, Bawaslu masih menunggu langkah DPR dan pemerintah dalam melakukan revisi UU Pemilu.
Menurut Bagja, ada sejumlah persoalan yang muncul karena dampak dari pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Salah satunya adalah tingginya biaya pemilu dan politik uang. Biaya pemilu dan politik uang berpotensi meningkat karena kerja paket dalam pelaksanaan kampanye pemilu menjadi terpisah.
“Selain itu, terjadinya praktik jual beli tiket pencalonan. Persaingan untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilu DPR semakin meningkat sebanding dengan kerawanan buying candidacy,” pungkas Bagja.
