Koruptor Muda dan Sistem yang Renta

Koruptor Muda dan Sistem yang Renta

Koruptor Muda dan Sistem yang Renta
Asisten Dosen dan Peneliti di Departemen Administrasi Publik, Universitas Airlangga
DI PANGGUNG
politik Indonesia yang penuh dengan wajah-wajah lama, kemunculan anak muda sering kali dirayakan sebagai harapan.
Mereka diharapkan membawa energi baru, gagasan segar, dan paling penting integritas yang tak ternoda untuk melawan sistem korup. Namun, kenyataan tak seindah ekspektasi dan harapan.
Ketika anak muda akhirnya masuk ke dalam lingkar kekuasaan, mereka diharapkan pada sistem lama yang sudah lebih mapan, licin, dan penuh jebakan kompromi.
Ialah Nur Afifah Balqis (NAB), di usianya yang masih 24 tahun saat ditangkap KPK, seharusnya menjadi personifikasi ekspektasi dan harapan tersebut.
Ia kembali viral di media sosial setelah belakangan ini disebut sebagai koruptor termuda di Indonesia. 
 
Operasi tangkap tangan KPK atas kasus suap Bupati Penajam Paser Utara pada 2022, menjadi anomali menyakitkan, sebuah nekrolog bagi idealisme yang menunjukkan bagaimana harapan regenerasi justru mengkhianati dirinya sendiri.
Kasus NAB adalah bukti paling menyakitkan bahwa
korupsi
di negeri ini bukan lagi penyakit generasi tua, melainkan wabah sistemik yang siap menginfeksi siapa saja, bahkan tunas yang baru bersemi.
Kegagalannya adalah cermin dari kegagalan kita sebagai bangsa dalam menyiapkan ladang politik yang subur untuk integritas.
Fenomena seperti ini bukanlah kasus tunggal. Lebih dari itu, ini menjadi alarm tren korupsi yang semakin masif dan sistemik di berbagai level kekuasaan dan lintas generasi.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2023 tercatat 791 kasus korupsi—angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Jumlah ini meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya: 579 kasus pada 2022; 533 kasus pada 2021; 444 kasus pada 2020; dan 271 kasus pada 2019.
Peningkatan ini juga tercermin dari jumlah tersangka yang terlibat, dengan 1.695 orang ditetapkan sebagai tersangka pada 2023.
Untuk memahami mengapa seorang anak muda bisa terjerumus dalam praktik ini, kita tidak bisa hanya menyalahkan individunya saja.
Kasus ini harus dilihat sebagai simptom dari penyakit sistemik yang sudah mendarah daging sebagai produk dari struktur, budaya, dan rasionalitas yang cacat.
NAB tidak masuk ke arena steril, ia masuk dalam struktur patron-klien (
patron-clientelism
) yang mengakar, di mana seorang patron (bupati) mendistribusikan sumber daya (proyek, jabatan, uang) untuk membeli loyalitas dari kliennya (tim sukses, bendahara).
Dalam sistem seperti ini, tindakan korupsi dianggap menjadi “pilihan rasional”. Ketika biaya untuk menolak (tersingkir dan kehilangan peluang) jauh lebih besar daripada potensi keuntungan dari berkompromi (akses, kekayaan, kekuasaan), maka korupsi dianggap bukan lagi penyimpangan, melainkan suatu strategi bertahan hidup.
Menjabat sebagai Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan, menempatkannya di episentrum sistemik ini, di mana menolak perintah atasan adalah sama dengan bunuh diri politik.
Bisa jadi NAB bukanlah inisiator, melainkan operator yang terperangkap dalam kalkulasi rasional dari sistem yang memang sudah korup.
Sosiolog Robert K. Merton (1938) melalui Teori Anomie menjelaskan bagaimana penyimpangan terjadi ketika ada ketidaksesuaian antara tujuan yang dilembagakan oleh budaya (
cultural goals
) dengan cara-cara yang sah untuk mencapainya (
institutionalized means
).
Budaya kita hari ini sangat menekankan tujuan kesuksesan material, kondisi ini melahirkan budaya pragmatisme akut.
Logika bergeser dari “apa yang benar secara etis” menjadi “apa yang paling efisien untuk mencapai tujuan”.
Ketika jalan pintas terbukti menjadi rute tercepat menuju kekuasaan dan kekayaan, idealisme menjadi barang mewah yang tidak praktis. Sikap semua orang juga melakukannya menjadi pembenaran yang melumpuhkan nurani.
Kekacauan ini merupakan implikasi dari krisis keteladanan yang semakin tampak di permukaan.
Generasi NAB tumbuh dengan menyaksikan para
koruptor
—banyak di antaranya adalah senior di dunia politik—mendapat hukuman ringan, menikmati kemewahan pasca-penjara, dan bahkan kembali menduduki jabatan publik.
Penjara tidak lagi menjadi momok menakutkan, melainkan sekadar “risiko bisnis” yang bisa dikalkulasi.
Berdasarkan temuan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK dan analisis tim Universitas Airlangga (2025), korupsi tampaknya telah menjadi budaya yang dinormalisasi oleh sebagian masyarakat.
Dalam praktik pengadaan barang dan jasa, misalnya, perilaku koruptif bahkan dianggap “fungsional” untuk mempertahankan kelangsungan usaha.
Artinya, korupsi tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan, melainkan sebagai bagian dari prosedur tak tertulis yang dianggap wajar.
Dalam konteks ini, penegakan hukum saja tidak memadai. Menghukum individu seperti NAB adalah keharusan hukum, tetapi memenjarakannya saja tidak akan menyelesaikan masalah. Itu laksana memangkas rumput liar tanpa mencabut akarnya.
Jika kita serius ingin mencegah lahirnya koruptor-koruptor baru, intervensi harus menyasar benteng individu sekaligus merombak sistem yang ada.
Di tingkat individu, intervensi hulu melalui pendidikan antikorupsi dan internalisasi integritas harus menjadi fondasi sejak dini.
Di tingkat sistem, mekanisme pencegahan harus diperkuat secara radikal, mulai dari integrasi total
e-Budgeting
dan
e-Procurement
, analisis LHKPN yang proaktif, hingga jaminan perlindungan penuh bagi pelapor (
whistleblower
).
Lebih dari itu, sistem ini hanya akan berjalan jika ditopang oleh keteladanan kepemimpinan nyata, sanksi hukum yang tak kenal kompromi, dan independensi lembaga antikorupsi. Kolaborasi lintas sektor pun mutlak untuk menciptakan pengawasan efektif.
Pada akhirnya, semua strategi ini akan sia-sia jika tidak ditopang oleh pilar transformasi mentalitas masyarakat.
Selama publik masih permisif terhadap gratifikasi dan memaklumi praktik korup, kita hanya akan terus menyaksikan regenerasi politik yang melahirkan koruptor-koruptor muda berikutnya. Perubahan harus dimulai dari kita.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.