Korupsi Proyek Shelter Tsunami di NTB, Siapa Tersangka Utama?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa kerugian keuangan yang diakibatkan oleh praktik korupsi dalam proyek pembangunan shelter tsunami di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai Rp 18,4 miliar.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua orang tersangka yang memiliki peran penting, yaitu
Aprialely Nirmala
(AN) dan
Agus Herijanto
(AH).
Aprialely Nirmala menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen untuk proyek pembangunan shelter tsunami di Kabupaten Lombok Utara, NTB, yang dilaksanakan pada tahun 2014.
Sementara itu, Agus Herijanto merupakan Kepala Proyek dari PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa kasus korupsi ini bermula pada tahun 2012, ketika Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyusun rencana induk (master plan) untuk pengurangan risiko bencana tsunami.
Dalam rencana tersebut, salah satu fokus utama adalah pembangunan Tempat Evakuasi Sementara (TES) atau Shelter, yang harus tahan terhadap gempa dengan kekuatan 9 Skala Richter.
Pada tanggal 21 April 2024, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengirimkan surat kepada Kepala SNVT PBL Provinsi NTB, Ika Sri Rezeki, untuk melaksanakan pengadaan
proyek shelter tsunami
dengan pagu anggaran sebesar Rp 23,2 miliar.
KPK mengatakan, Aprialely Nirmala melakukan sejumlah tindakan yang merugikan proyek, termasuk mengubah Design Engineering Detail (DED) untuk shelter tsunami serta menurunkan spesifikasi tanpa adanya kajian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini menyebabkan kondisi ramp atau jalur evakuasi yang menghubungkan antarlantai shelter menjadi terlalu kecil, bahkan ramp tersebut hancur saat terjadi gempa.
Walaupun terdapat perubahan desain yang signifikan, proyek tersebut tetap lanjut ke tahap lelang pada 2014, dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk terpilih sebagai pemenang untuk pembangunan shelter tsunami.
Setelah Agus Herijanto diangkat sebagai kepala proyek pembangunan shelter tsunami, KPK menduga bahwa ia bersama Aprialely Nirmala sadar akan banyaknya kekurangan pada dokumen lelang yang menjadi acuan kerja, namun tetap tidak melakukan perbaikan.
“Sebenarnya mereka sudah mengetahui banyak kekurangan pada dokumen lelang yang menjadi acuan kerja, namun sampai dengan November 2014 tidak ada tindakan untuk melakukan perbaikan,” ungkap Asep.
Lebih lanjut, KPK menduga Agus Herijanto juga melakukan penyimpangan anggaran sebesar Rp 1,3 miliar.
Pasca dua kali gempa pada 29 Juli dan 5 Agustus 2018, yaitu berkekuatan 6,4 dan 7,0 SR, kondisi shelter dinyatakan rusak berat dan tidak dapat digunakan sebagai tempat perlindungan, padahal standar shelter seharusnya mampu bertahan hingga 9 SR.
Akibat dari perbuatan mereka, Aprialely Nirmala (AN) dan Agus Herijanto (AH) kini disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi yang terjadi dalam proyek ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh infrastruktur yang dibangun.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.