Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah Nasional 23 Agustus 2025

Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
KORUPSI
adalah luka yang tak kunjung sembuh dalam tubuh republik. Setiap kali luka itu mulai mengering, selalu ada tangan pejabat yang kembali mengupasnya.
Luka itu bukan sekadar soal uang yang raib, tetapi juga tentang kepercayaan publik yang terkoyak.
Kasus Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menegaskan luka itu. Bukan saja karena dugaan pemerasan miliaran rupiah dari sertifikasi K3, tetapi karena keberaniannya meminta amnesti dari presiden.
Luka publik makin perih: hukum seolah hanya formalitas, sementara pengampunan dianggap barang dagangan politik.
Korupsi adalah salah. Kesalahan hukum, kesalahan moral, dan kesalahan politik. Namun, anehnya, di negeri ini, kata salah seakan kehilangan bobotnya.
 
Orang bisa tersenyum di kamera setelah ditetapkan tersangka. Orang bisa menyebut dirinya korban, padahal ia sedang memakan uang rakyat.
Lebih mengejutkan, kesalahan itu kadang justru dilihat sebagai peluang untuk menawar. Tersangka meminta amnesti, terdakwa berharap remisi, terpidana menanti grasi. Kata salah bukan lagi soal tanggung jawab, melainkan soal negosiasi
Di sinilah amnesti berubah menjadi amnesia. Instrumen konstitusional yang semula dimaksudkan untuk kepentingan besar bangsa—rekonsiliasi politik, perdamaian, penyelesaian konflik—diselewengkan menjadi jalan pintas melupakan dosa korupsi.
Permintaan amnesti Noel adalah contoh bagaimana hukum direduksi menjadi alat penghapusan ingatan.
Padahal, korupsi justru harus diingat, agar publik tahu siapa yang mengkhianati amanah. Dengan amnesti, dosa hendak disapu bersih, seolah-olah tak pernah ada.
Amnesti di sini bukan lagi pengampunan demi bangsa, melainkan penghapus rasa bersalah demi kepentingan pribadi.
Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memang menyebut presiden berhak memberi amnesti dengan pertimbangan DPR. Namun, legitimasi hukum tidak otomatis berarti legitimasi moral.
Di sinilah letak persoalan: apakah konstitusi bisa dipakai sebagai selimut bagi pejabat yang merampas hak rakyat?
Legitimasi hukum harus selaras dengan legitimasi moral. Hukum tanpa moral hanyalah topeng.
Gustav Radbruch, filsuf hukum Jerman, mengingatkan: hukum yang kehilangan keadilan bukanlah hukum.
Jika amnesti dipakai untuk melindungi koruptor, maka yang rusak bukan hanya hukum, tetapi juga legitimasi negara.
Korupsi di Indonesia telah mencapai tingkat banalitas. Ia begitu biasa sehingga publik hampir tidak lagi kaget mendengar pejabat ditangkap. Yang mengejutkan justru bukan perkaranya, tetapi keberanian meminta amnesti setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Hannah Arendt menyebut istilah
the banality of evil
—kejahatan yang terasa lumrah karena dilakukan berulang-ulang tanpa rasa bersalah.
Korupsi kita persis seperti itu. Ia tidak lagi dianggap kejahatan luar biasa, melainkan rutinitas birokrasi. Dan ketika tersangka masih punya nyali meminta amnesti, itu menandakan kejahatan sudah dianggap sebagai “hak istimewa jabatan.”
Negara hukum hanya bisa tegak jika pejabat berani memikul tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab politik, tetapi juga tanggung jawab hukum dan moral.
Permintaan amnesti menunjukkan sebaliknya: lari dari tanggung jawab, mencari penghapusan dosa instan.
Di negara dengan tradisi malu yang kuat, pejabat yang terseret kasus akan segera mundur. Di negeri ini, pejabat justru menantang publik dengan meminta pemaafan. Inilah krisis tanggung jawab yang sesungguhnya.
Rakyat adalah korban utama. Mereka yang diperas lewat pungutan ilegal, mereka yang kehilangan layanan publik, mereka yang gajinya tergerus inflasi, mereka yang setiap hari dipaksa membayar pajak. Ketika seorang pejabat meminta amnesti, publik merasa dipermainkan.
Survei Transparency International menempatkan Indonesia dengan skor 34/100 pada 2024. Itu artinya, publik menilai korupsi masih parah, dan penegakan hukumnya lemah.
Permintaan amnesti hanya memperkuat kesan: di negeri ini, korupsi bukan kejahatan, tetapi negosiasi.
Permintaan amnesti Noel tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari politik patronase. Ia lahir dari keyakinan bahwa kedekatan dengan presiden bisa menjadi jalan keselamatan. Ini menegaskan bagaimana politik kita masih dikuasai logika balas budi dan loyalitas personal.
Padahal, presiden bukanlah raja yang bisa seenaknya memberi pengampunan. Presiden adalah kepala negara yang terikat konstitusi, moral publik, dan akuntabilitas.
Jika amnesti diberikan untuk kasus korupsi, maka rusaklah komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi.
Untuk memahami arti sejati amnesti, mari menengok ke luar negeri.
Afrika Selatan pasca-Apartheid membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC). Amnesti diberikan bukan untuk melupakan kejahatan, melainkan dengan syarat pelaku menyatakan kebenaran di hadapan publik. Amnesti di sana adalah jalan untuk menyembuhkan luka bangsa.
Spanyol pasca-Franco juga memberi amnesti bagi tahanan politik sebagai jalan transisi menuju demokrasi. Amnesti dimaknai sebagai jembatan agar bangsa bisa bergerak maju.
Kedua kasus itu menunjukkan: amnesti adalah instrumen politik kebangsaan, bukan mekanisme untuk menghapus rasa bersalah pribadi.
Dibandingkan itu, permintaan amnesti oleh pejabat korup di Indonesia justru menunjukkan penyalahgunaan makna.
Apa jalan keluarnya? Pertama, presiden harus menutup rapat pintu amnesti untuk korupsi. Kedua, DPR harus berani menolak segala bentuk legitimasi politik atas penghapusan dosa pejabat.
Ketiga, publik harus bersuara lantang agar kasus ini tidak menjadi preseden.
Lebih jauh, bangsa ini perlu membangun kembali budaya malu. Malu adalah akar etika. Tanpa malu, hukum bisa ditawar. Tanpa malu, pejabat berani korupsi lalu minta amnesti. Tanpa malu, negara hukum tinggal nama.
“Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah” adalah cermin kondisi bangsa. Korupsi yang banal, amnesti yang diselewengkan, rasa bersalah yang hilang.
Afrika Selatan dan Spanyol memperlihatkan amnesti bisa menjadi jalan transisi politik yang bermartabat. Namun di Indonesia, bila amnesti dipakai untuk korupsi, ia akan menjadi amnesia kolektif, melupakan dosa yang seharusnya dipertanggungjawabkan.
Republik ini bisa runtuh bukan karena serangan musuh luar, melainkan karena pejabat di dalam negeri yang kehilangan rasa bersalah. Jika amnesti untuk korupsi dibiarkan, maka bangsa ini sedang melegitimasi kejahatan.
Hukum harus ditegakkan dengan nurani, bukan ditawar dengan kuasa. Dan pejabat publik hanya layak dihormati bila berani bertanggung jawab, bukan bila pandai mencari amnesti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.