Liputan6.com, Jakarta – Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya mencatat tiga persoalan di institusi Polri yang membuat kinerjanya menurun.
Tiga hal tersebut disampaikan Dimas saat menjadi narasumber di acara rilis hasil survei Civil Society for Police Watch soal ‘Pandangan Publik Terhadap Wacana Reposisi Polri’ di Hotel Ibis Budget Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2025).
“Pertama, adalah struktural yang tidak kompatibel,” kata Dimas seperti dikutip Senin (10/2/2025).
Dimas menambahkan, problem kedua adalah problem kultural yang masih melekat dengan budaya militer atau budaya kekerasan. Hal itu terlihat dari kejadian belakangan hari. Akibatnya, publik merasa tidak bebas, merasa takut untuk bersuara di ruang publik.
“Ketiga, profesionalisme, polisi tampak menjadi mesin atau alat politik dan perpanjangan tangan kekuasaan,” nilai Dimas.
Akibat dari tiga problem tersebut, sepanjang tahun 2024 banyak kasus hukum yang turut menyeret Polri, salah satunya pemerasanyang mempertaruhkan integritas Lembaga tersebut. Oleh karena itu, Dimas pun mendorong hadirnya wacana reposisi yang menjadi buah kekecewawan publik atas kinerja Polri.
“Kita perlu mendorong agar reposisi perlu ini dapat terwujud, karena kita berharap ada pembenahan dan perubahan secara serius terhadap kinerja Polri,” dorong Dimas.
Sementara itu, Majelis Etik dan Pertimbangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri cukup rendah. Hal itu berkaca dari temuan survei Civil Society for Police Watch yang menyatakan 44 persen publik tidak percaya dengan kinerja Polri.
“Reposisi Polri, apakah di bawah Presiden, Kejaksaan, Kemendagri, Kemenhan perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Mengapa? Karena temuan survei ini dapat memberikan petunjuk kepada kita semua bahwa reposisi Polri perlu dilakukan, agar melahirkan Polri yang lebih baik ke depannya,” kata Sasmito dalam kesempatan senada.
Catatan AJI Indonesia, lanjut Sasmito, salah satu persoalan serius di tubuh Polri yang menyangkut kerja isan pers adalah budaya kekerasan. Menurud dia, sejumlah kejadian kekerasan terekam saaat meliput demonstrasi dan sejenisnya.
“Perlu ada terobosan dalam melakukan perubahan institusi Polri. Bahwa institusi Polri tidak boleh lagi melakukan tindakan kekerasan terhadap jurnalis dalam melakukan liputan” jelas Sasmito.
“Kekerasan yang dilakukan oleh Polri tadi, karena Polri masih tetap dipersenjatai. Dengan demikian, rawan terjadi kekerasan yang dilakukan oleh Polisi terhadap warga atau misalkan kita menemukan Polisi tembak Polisi. Hal tersebut perlu didorong agar melahirkan polisi yang memanusiawi” imbuhnya menandasi.