Komunikasi Krisis: Kunci Mitigasi dan Keselamatan di Tengah Bencana
Pengamat dan Akademisi bidang Ketahanan, Politik dan Kebijakan Publik
PADA
saat banjir besar melanda Sumatra, ribuan warga tiba-tiba terjebak dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Data terbaru menunjukkan lebih dari 150 korban jiwa, dengan estimasi kerugian material mencapai lebih dari Rp1,2 triliun akibat rusaknya ribuan rumah, fasilitas umum, dan lahan pertanian. Tidak hanya itu, akses jalan utama di beberapa kabupaten terputus total, membuat mobilitas lumpuh dan banyak desa terisolasi selama berhari-hari.
Dalam kondisi ini, masyarakat mendambakan satu hal yang krusial: suara yang dapat diandalkan untuk memberi arahan dan harapan.
Komunikasi krisis
yang jelas dan transparan bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menenangkan masyarakat. Sayangnya, di Sumatra ketidakhadiran satu sumber informasi yang terkoordinasi membuat banyak warga merasa kebingungan.
Ketika akses jalan terputus dan logistik harian seperti air bersih, makanan, obat-obatan, serta selimut sulit masuk, warga tidak mengetahui kapan bantuan tiba, dari mana bantuan datang, dan bagaimana mereka harus bertindak. Kekosongan informasi ini memperpanjang rasa cemas dan memperburuk situasi.
Sebagai perbandingan, kita dapat melihat bagaimana Queensland di Australia menangani situasi serupa melalui komunikasi krisis yang terpusat dan efektif. Ketika banjir melanda wilayah tersebut, pemerintah setempat memastikan bahwa warga selalu mendapatkan pembaruan mengenai kondisi wilayah, jalur evakuasi, dan distribusi bantuan. Keberadaan satu pusat komando komunikasi membuat masyarakat tahu ke mana harus mendengarkan dan siapa yang bertanggung jawab.
Pentingnya komunikasi pemerintah terlihat jelas dalam meredam kepanikan dan mengarahkan respons masyarakat. Ketika informasi tidak jelas dan tidak konsisten, masyarakat bukan hanya kehilangan arah tetapi juga kehilangan rasa aman. Dalam konteks bencana besar seperti di Sumatra, komunikasi krisis yang efektif bukan hanya pelengkap, tetapi komponen vital bagi keselamatan dan kelangsungan hidup warga.
Banjir besar yang melanda Queensland pada tahun 2010–2011 merupakan salah satu bencana paling signifikan dalam sejarah Australia. Lebih dari 70% wilayah Queensland terendam, ribuan rumah rusak, dan kerugian mencapai lebih dari AUD 2,4 miliar. Penanganan bencana ini sering dijadikan rujukan bukan hanya karena respons fisiknya, tetapi karena komunikasi krisis dilakukan secara terpusat, konsisten, dan berbasis data.
Koordinasi dipimpin oleh Queensland Disaster Management Committee (QDMC), dengan Premier Anna Bligh sebagai komunikator utama yang tampil setiap hari memberikan pembaruan situasi kepada publik. Salah satu kekuatan utama Queensland adalah kejelasan struktur komando.
QDMC menjadi pusat koordinasi tunggal yang menyatukan pemerintah negara bagian, otoritas lokal, kepolisian, militer, lembaga meteorologi, dan departemen transportasi. Semua informasi disampaikan dari satu pintu dengan jadwal briefing tetap, bahasa yang sederhana, dan data yang lengkap.
Pendekatan ini membuat masyarakat tahu siapa yang harus dipercaya dan di mana mendapatkan informasi, sehingga stabilitas sosial tetap terjaga dan risiko korban tambahan dapat diminimalkan.
Jika dianalisis menggunakan Situational Crisis Communication Theory (SCCT), Queensland menerapkan
instructing information
dan
adjusting information
dengan sangat baik.
Instructing information
terlihat ketika pemerintah memberikan panduan jelas mengenai wilayah evakuasi, jalur aman, status bendungan, dan distribusi logistik.
Sementara itu,
adjusting information
tampak melalui komunikasi empatik Premier Bligh yang menenangkan warga, mengakui ketidakpastian, dan menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi masyarakat.
Kedua elemen ini secara langsung membangun persepsi bahwa pemerintah hadir dan bertanggung jawab.
Pendekatan Queensland juga selaras dengan Renewal Communication Theory, yang menekankan pentingnya membangun narasi harapan pascabencana. Pemerintah tidak hanya melaporkan kerusakan, tetapi juga memaparkan langkah pemulihan, rencana rekonstruksi, serta estimasi normalisasi layanan dasar. Strategi ini membuat masyarakat merasa dilibatkan dalam proses pemulihan dan menjaga moral publik tetap tinggi.
Selain itu, Queensland disiplin menerapkan prinsip
centralized command communication
. Semua lembaga menyampaikan pesan yang sama untuk menghindari kontradiksi. Tidak ada tumpang tindih informasi atau pesan yang bertentangan antara kepolisian, departemen transportasi, atau layanan darurat. Prinsip ini sangat efektif dalam situasi yang berubah cepat seperti banjir besar.
Secara keseluruhan, keberhasilan Queensland merupakan perpaduan antara struktur organisasi yang kuat, komunikasi empatik, serta penerapan teori komunikasi krisis secara konsisten. Pendekatan ini menunjukkan bahwa komunikasi adalah instrumen manajemen bencana, bukan sekadar alat penyampaian informasi.
Jika dibandingkan dengan Queensland, sistem komunikasi krisis di Indonesia melalui BPBD dan BNPB memiliki kerangka kelembagaan yang baik, tetapi sering terkendala dalam penerapannya. Secara struktural, Indonesia memiliki sistem berjenjang dari pusat hingga daerah, tetapi dalam praktiknya, komunikasi krisis belum mampu berjalan terpusat dan konsisten seperti yang tergambar dalam kasus Queensland.
Pertama, dari perspektif SCCT, kekurangan utama terlihat pada
instructing information
. Di Sumatra, masyarakat tidak mendapatkan arahan jelas mengenai jalur evakuasi, titik aman, atau lokasi distribusi logistik. Kondisi ini diperburuk oleh akses jalan yang terputus dan distribusi logistik yang terhambat, ditambah minimnya pembaruan berkala mengenai cuaca dan kondisi infrastruktur. Ketika informasi dasar ini tidak tersedia, masyarakat kehilangan pedoman tindakan.
Kedua, dalam aspek
adjusting information
, komunikasi pejabat daerah sering tidak terjadwal dan tidak konsisten. Berbeda dengan Queensland yang menghadirkan komunikator utama setiap hari, masyarakat di Sumatra tidak memiliki figur pusat yang memberikan penjelasan atau empati secara rutin. Hal ini melemahkan hubungan emosional antara pemerintah dan warga, padahal teori SCCT menekankan pentingnya respons empatik untuk menjaga kepercayaan publik.
Ketiga, dari Renewal Communication Theory, komunikasi krisis di Sumatra masih berfokus pada laporan kerusakan tanpa cukup informasi mengenai rencana pemulihan. Masyarakat tidak mendapat gambaran jelas tentang rekonstruksi, pembukaan akses jalan, atau normalisasi layanan dasar. Akibatnya masyarakat sulit melihat arah pemulihan.
Keempat, kesenjangan paling besar terlihat pada prinsip
centralized command communication
. Di Sumatra, banyak lembaga mengeluarkan informasi sendiri-sendiri seperti BPBD, pemerintah provinsi, kepolisian, dan relawan. Ketidaksinkronan pesan ini menimbulkan kebingungan publik mengenai sumber informasi yang paling valid. Tidak adanya figur tunggal seperti gubernur atau wakil gubernur yang tampil secara rutin membuat publik kehilangan “one trusted voice” yang menjadi pegangan.
Secara keseluruhan, keterbatasan sumber daya, koordinasi yang lemah, dan kurangnya disiplin komunikasi terpusat membuat respons komunikasi krisis di Indonesia belum setara dengan standar Queensland. Perbaikan dalam koordinasi dan konsistensi komunikasi sangat diperlukan agar respons bencana di masa depan dapat lebih cepat, lebih jelas, dan lebih mampu menjaga kepercayaan publik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Komunikasi Krisis: Kunci Mitigasi dan Keselamatan di Tengah Bencana Nasional 30 November 2025
/data/photo/2025/11/29/692abd8a4c4ba.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)