Komisi VII DPR dorong penerapan SNI bagi produk kain dan pakaian

Komisi VII DPR dorong penerapan SNI bagi produk kain dan pakaian

Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mendorong penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib bagi seluruh produk kain dan pakaian jadi yang beredar di pasaran, baik produksi dalam negeri maupun impor.

Dia menilai penerapan SNI wajib merupakan langkah strategis untuk melindungi konsumen dari peredaran produk berkualitas rendah serta menjaga daya saing industri tekstil nasional dari gempuran barang tiruan dan pakaian bekas ilegal.

“Kita harus jadikan standar nasional sebagai benteng bagi konsumen dan pelindung industri lokal, serta memastikan pakaian yang dipakai rakyat Indonesia bermutu, aman, dan hasil karya bangsa sendiri,” kata Evita di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, penerapan SNI wajib memang bukan perkara yang mudah, karena sejauh ini SNI wajib baru dikenakan kepada pakaian bayi sesuai Permenperin Permenperin No.97/M-IND/PER/11/2015, termasuk mainan anak sesuai Permenperin No.24/M-IND/PER/4/2013.

Selain itu, menurut dia, penerapan SNI sukarela cukup banyak.

Dia menjelaskan proses untuk mendapatkan SNI mulai dari pendaftaran, pengujian di laboratorium terakreditasi, pengajuan dokumen teknis, audit pabrik dan seterusnya.

Pada intinya, dia mendorong agar produk-produk bisa lebih maju dan konsumen harus mendapatkan informasi yang benar. Dia menilai dengan adanya standar itu, produsen bisa membangun inovasi dan daya saing serta citra mereka.

“Tapi yang lebih penting lagi adalah setelah ini bagaimana pengawasannya di lapangan. Misalnya siapa yang mengecek kandungan yang ada di dalam pakaian impor atau lokal itu,” kata dia.

Menurut dia, pemberlakuan SNI wajib ini perlu diikuti dengan pengawasan impor yang lebih ketat, termasuk mencegah impor ilegal pakaian jadi baru ataupun bekas.

Dia mengungkapkan impor pakaian jadi sebagian besar berasal dari negara yang ekspornya tertahan akibat perang tarif Amerika Serikat dan Tiongkok sehingga dialihkan ke pasar negara lain seperti Indonesia.

Praktik itu, kata dia, diperparah dengan adanya dugaan transshipment, yaitu pengalihan negara asal barang untuk menghindari bea masuk. Untuk itu, dia meminta agar inspeksi berkala harus terus dilakukan.

Selain itu, dia juga mendorong solusi yang komprehensif terkait permasalahan yang dialami oleh industri tekstil dan pakaian jadi Indonesia. Tak hanya soal serbuan impor produk jadi di pasar domestik, tapi juga dinamika ekonomi global, hingga peningkatan kualitas dan daya saing produk tekstil nasional.

“Kita mendukung penyelesaian yang komprehensif apalagi sektor industri tekstil dan pakaian jadi menurut peta jalan Making Indonesia 4.0 pada tahun 2030 diharapkan masuk ke dalam 5 besar manufaktur tekstil dunia dan spesialisasi produksi pakaian fungsional,” kata dia.

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.