Komisi III Sebut Banyak Penjelasan Tak Tepat soal KUHAP Baru, Apa Saja?

Komisi III Sebut Banyak Penjelasan Tak Tepat soal KUHAP Baru, Apa Saja?

Komisi III Sebut Banyak Penjelasan Tak Tepat soal KUHAP Baru, Apa Saja?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengeklaim sejumlah informasi yang beredar di publik terkait pasal-pasal kontroversial dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru adalah penjelasan yang tidak tepat.
Hal tersebut dia sampaikan dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/11/2025), setelah mendapat informasi mengenai catatan-catatan dari kelompok masyarakat sipil setelah
KUHAP baru
disahkan, Selasa (17/11/2025) kemarin.
“Sekali ya teman-teman hadir ke sini, dalam rangka kami menyampaikan klarifikasi atas lagi-lagi ini berita bohong ya. Atau sebenarnya bukan berita bohong lah, ini berita yang tidak pas, yang tidak tepat, tidak benar ya. Tapi beredar sangat masif di media massa,” ujar Habiburokhman di Gedung DPR RI.
“Makanya kami secara khusus untuk menyampaikan klarifikasi ini melalui bantuan teman-teman awak media di DPR,” sambungnya.
Habiburokhman kemudian membeberkan sejumlah poin yang dinilai keliru terkait pasal-pasal tertentu dalam RKUHAP.
Berikut rangkumannya:
Menurut Habiburokhman, penjelasan yang menyebut Pasal 5 mengizinkan penyelidik melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan dalam tahap penyelidikan walaupun pidana belum terkonfirmasi adalah tidak benar.
“Pernyataan tersebut tidak benar, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam pasal 5 dilakukan bukan dalam tahap penyelidikan, namun dalam tahap penyidikan,” kata dia.
Habiburokhman menjelaskan, tindakan itu memang bisa dilakukan oleh penyelidik, tetapi tetap atas perintah penyidik, dan mekanismenya sangat ketat.
“Memang yang bisa menangkap itu penyelidik boleh menangkap, tapi bukan dalam tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan. Dan itu atas perintah dari penyidik,” ujarnya.
Habiburokhman menegaskan, pengaturan tersebut dibuat untuk mengatasi keterbatasan jumlah penyidik, dan syarat upaya paksa dalam KUHAP baru justru lebih ketat dibandingkan aturan lama.
Polemik lain muncul terkait Pasal 16 yang disebut membuka peluang penggunaan metode
undercover

buying
dan
control delivery
untuk semua tindak pidana.
Habiburokhman menolak tegas pandangan tersebut.
“Ini kan berarti kan koalisi pemalas, dia enggak liat
live streaming
kita debat khusus soal ini. Ini koalisi pemalas, tidak benar, karena sudah dilimitasi di bagian penjelasan,” katanya.
Dia menjelaskan, teknik penyamaran tersebut hanya berlaku untuk investigasi khusus yang diatur UU, misalnya narkotika dan psikotropika, sebagaimana tertuang dalam bagian penjelasan pasal.
“Pasal 16 enggak ada bahwa penyamaran untuk semua tindak pidana. Itu hanya untuk narkoba dan psikotropika,” ujarnya.
Tudingan bahwa KUHAP baru membuka ruang penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran tanpa izin hakim dinilai tidak berdasar.
“Hal tersebut tidak benar ya karena upaya paksa diatur secara ketat dengan izin hakim dan dengan syarat tertentu yang jauh lebih ketat daripada KUHAP lama,” kata Habiburokhman.
Dia pun merinci beberapa ketentuan, yakni Penggeledahan harus dengan izin ketua pengadilan di Pasal 113, Penyitaan harus dengan izin ketua pengadilan di Pasal 119, dan Pemblokiran rekening harus dengan izin ketua pengadilan di Pasal 140.
Untuk keadaan mendesak seperti tertangkap tangan atau lokasi geografis yang sulit, tindakan boleh dilakukan terlebih dahulu, tetapi wajib mendapat persetujuan hakim dalam 2×24 jam.
Menurut Habiburokhman, pengaturan KUHAP baru “jauh lebih baik daripada KUHAP lama”.
Kelompok masyarakat sipil juga menilai ketentuan restorative justice (RJ) di KUHAP baru berpotensi menjadi ruang pemerasan hingga intimidasi sejak tahap penyelidikan.
Habiburokhman membantah pernyataan itu.
“Ini jelas klaim yang tidak benar, karena mekanisme keadilan restoratif dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa KUHAP baru memberikan batasan ketat terkait RJ.
“Harus dilakukan tanpa adanya paksaan, intimidasi, tekanan, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan, penyiksaan dan tindakan yang merendahkan kemanusiaan. Ini diatur di pasal 81,” ucap Habiburokhman.
Menurutnya, RJ tidak mungkin menjadi alat memaksa karena seluruh proses diawasi dan pada akhirnya memerlukan penetapan pengadilan.
Habiburokhman menjawab kritik bahwa pasal 7 dan 8 menempatkan seluruh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di bawah koordinasi Polri sehingga kepolisian disebut menjadi lembaga super power.
Habiburokhman menilai pandangan tersebut tidak memahami landasan konstitusional.
“Yang mengatur bahwa yang diatur di pasal 30 ayat 4 penegak hukum itu hanya Polri sebetulnya ya. Jadi kalau ada dinamika, ada penyidik tertentu di luar institusi kepolisian, tentu sangat wajar kalau harus berkoordinasi,” katanya.
Dia menambahkan, ketentuan tersebut juga merupakan konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 dan Putusan MK Nomor 59/PUU/2021/2023.
Habiburokhman meluruskan tuduhan bahwa KUHAP baru menambah masa penahanan terhadap penyandang disabilitas mental atau fisik berat.

RUU KUHAP
tidak membuat ketentuan yang memberikan perpanjangan durasi penahanan berdasarkan kondisi kesehatan. Rumusan demikian secara sadar tidak diadopsi karena bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.
Dia menegaskan, justru ketentuan masa penahanan bagi penyandang disabilitas lebih singkat dibanding orang tanpa disabilitas.
Salah satu poin yang dianggap paling janggal adalah klaim bahwa Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual.
Habiburokhman menyebut tudingan itu tidak berbasis data.
“Coba dibuka tuh pasal 137, di KUHAP 137A, pasalnya soal apa? Mana? Enggak ada, makanya kami bingung mau mengklarifikasi ini pasalnya kami lacak enggak ada,” ujarnya.
Dia menegaskan pasal tersebut mengatur soal pemeriksaan surat, bukan tindakan terhadap penyandang disabilitas mental.
Sebaliknya, perlindungan terhadap penyandang disabilitas diatur secara tegas dalam Pasal 146 yang memungkinkan hakim menetapkan rehabilitasi dan perawatan, bukan pemidanaan.
“Justru tindakan adalah rehabilitasi dan perawatan, bukan hukuman. Justru dilindungi,” tuturnya.
Menutup penjelasan, Habiburokhman menyayangkan banyak pihak memberikan penilaian tanpa mengikuti proses pembahasan secara lengkap.
“Sebetulnya gampang kalau mau ngecek, karena draf ini sudah ada sejak Februari 2025 di website dan kemarin kita update terus,” ujarnya.
Di juga menyinggung minimnya pengawasan langsung dari publik di ruang rapat
Komisi III DPR
terhadap pembahasan RUU KUHAP.
“Di Balkon Ruang Rapat Komisi III sepi. Enggak ada sama sekali teman-teman yang mau mengawal pembahasan KUHAP ini,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.