Kisah Nissi Taruli Felicia, Bangun Ruang Aman untuk Teman Tuli Nasional 29 September 2025

Kisah Nissi Taruli Felicia, Bangun Ruang Aman untuk Teman Tuli
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 September 2025

Kisah Nissi Taruli Felicia, Bangun Ruang Aman untuk Teman Tuli
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Diskriminasi dan kekerasan masih dialami oleh anak, terutama penyandang disabilitas. Padahal, konstitusi Indonesia, yakni Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, telah mengamanatkan untuk memberikan perlindungan.
Diskriminasi terhadap anak dengan penyandang disabilitas paling kentara terlihat dalam hal pendidikan.
Berdasarkan Survei Kesejahteraan Indonesia (SKI) 2024, jumlah anak penyandang disabilitas sebesar 1 juta dari total populasi anak yang mencapai 83 juta jiwa.
Dikutip dari Statistik Pendidikan 2024 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 4,51 persen anak dengan disabilitas tidak pernah sekolah; 12,04 persen tidak tamat SD; 31,66 persen memiliki ijazah SD atau sederajat; 24,03 persen berijazah SMP atau sederajat; 22,17 persen tamat SMA atau sederajat; dan 5,58 persen lulus perguruan tinggi.
Biaya,
learned helplessness
, dan penolakan dari sekolah menjadi penyebab anak dengan disabilitas tidak menempuh pendidikan.
Selain diskriminasi, anak penyandang disabilitas juga rentan terhadap kekerasan. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada 2021 mengungkap bahwa terdapat 1.025 kasus kekerasan terhadap anak dengan disabilitas.
Rinciannya adalah kekerasan fisik (2,6 persen dari seluruh laporan kekerasan anak, baik penyandang disabilitas maupun non-penyandang disabilitas), kekerasan emosional (2,3 persen), kekerasan seksual (5,7 persen), eksploitasi (1,5 persen), perdagangan orang (2,6 persen), penelantaran (2,3 persen), dan lain-lain (3,7 persen).
Kondisi tersebut menjadi perhatian serius Co-Founder dan sekaligus Direktur Eksekutif FeminisThemis Nissi Taruli Felicia, penyandang Tuli yang sejak kecil telah merasakan stigma negatif.
Terpilih sebagai salah satu anak muda dalam program Every U Does Good Heroes Unilever Indonesia pada 2021, ia aktif menyuarakan serta memperjuangkan hak-hak perempuan Tuli melalui kanal digital dan berbagai program.
Sejak kecil, ia harus berjuang keras agar bisa belajar di sekolah umum. Ia lahir di keluarga yang bisa mendengar dan baru saat duduk di kelas 1 SD, guru wali kelasnya menyadari Nissi tidak merespons suara sebagaimana teman-temannya. Kenangan masa kecilnya itu masih lekat di ingatan.
“Saya baru tahu tidak bisa mendengar ketika usia 7 tahun. Waktu itu saya diperiksa di rumah sakit besar di Jakarta dan baru mendapat diagnosis,” ujar Nissi kepada Kompas.com, Rabu (24/9/2025).
Nissi melanjutkan, kala itu, dokter bahkan menyarankan Nissi agar pindah ke sekolah luar biasa (SLB). Meski begitu, ibunya kukuh menyekolahkan dirinya di sekolah umum.
“Mama saya bilang, ‘Saya yakin anak saya bisa mengikuti pembelajaran di sekolah umum’,” tutur Nissi.
Pilihan itu membuat Nissi tetap bersekolah di sekolah umum Katolik, meski menghadapi banyak tantangan. Ia sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman sebaya. Namun, kata-kata ibunya menjadi penyemangat.
“Mama pernah bilang, ‘Kamu tunjukkan prestasi, jangan pikirkan orang-orang yang mau menjatuhkan kamu’. Itu dorongan saya sampai sekarang untuk terus berkarya,” ujarnya.
Sehari-hari Nissi menggunakan alat bantu dengar dan mengikuti terapi wicara sepulang sekolah. Ia belajar memahami dunia lewat cerita dan visual dari orang tuanya, tanpa pernah diajari bahasa isyarat.
Setelah dewasa, Nissi menyadari arti identitas sebagai Tuli. Kala itu, ia bertemu dengan teman-teman yang memiliki pengalaman serupa. Perjumpaan pertama itu merupakan momen penting bagi hidupnya.
“Baru di usia 21 tahun saya bertemu dengan teman-teman Tuli. Pada 2019 saya mulai memahami arti identitas Tuli dan mulai belajar Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Dari situ, saya merasa keresahan saya terjawab: (ternyata) saya tidak sendirian,” katanya.
Sejak saat itu, perspektifnya berubah. Ia melihat pengalaman masa kecilnya sebagai proses panjang yang membentuk panggilan hidupnya.
Dari pengalaman pribadinya itu, Nissi pun terdorong untuk menciptakan ruang aman bagi orang-orang yang mengalami keterbatasan seperti dirinya.
Bersama dua teman lain yang juga penyandang Tuli, Nissi mendirikan FeminisThemis pada 2021, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.
“Awalnya, kami berdiskusi saat pandemi 2020. Kami resah karena konten edukasi pandemi tidak aksesibel, apalagi edukasi kesehatan reproduksi dan isu kekerasan seksual,” terang Nissi.
Mulanya, FeminisThemis hanya akun Instagram yang menyajikan informasi sederhana. Kini, komunitas tersebut berkembang menjadi wadah edukasi, kampanye, dan kelas-kelas pemberdayaan bagi perempuan penyandang Tuli dan kelompok minoritas gender.
“Kami ingin semakin banyak perempuan penyandang Tuli berani bersuara, berdaya, dan mengambil ruangnya sendiri,” kata Nissi.
FeminisThemis juga menginisiasi berbagai program, seperti #TuliBijakBerdigital, #TuliTangguhBencana, hingga kelas bahasa isyarat kolaborasi bersama sektor swasta.
Mereka aktif menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga masyarakat sipil, seperti KOMPAKS dan API. Nissi juga berupaya memperkuat FeminisThemis lewat berbagai jalur pendanaan dan kemitraan.
Nissi menjelaskan, dengan berbagai program yang telah memberi dampak bagi sekitar seribu penyandang Tuli, FeminisThemis memiliki potensi untuk berkelanjutan. FeminisThemis diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penyandang Tuli agar lebih berdaya, berani, dan melawan kekerasan seksual di lingkungannya.
Ia juga menginginkan FeminisThemis menjadi sumber informasi dan mitra diskusi yang kredibel tentang dunia Tuli bagi perusahaan, pemerintah, maupun pemangku kepentingan lain.
“Kami percaya kolaborasi adalah kunci inklusivitas. Suara kami perlu menggema lebih luas, bukan hanya di lingkup Tuli,” imbuh Nissi.
Perjuangkan hak dan perlindungan anak Tuli
Pada momen Hari Bahasa Isyarat Internasional yang diperingati tiap 23 September, Nissi turut menekankan pentingnya pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak-anak penyandang Tuli dengan empat prinsip utama, yakni non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan keberlangsungan hidup, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Adapun Hari Bahasa Isyarat Internasional menjadi momentum untuk menegaskan perlindungan identitas linguistik dan keragaman budaya bagi penyandang Tuli ataupun pengguna bahasa isyarat lain.
Menurut Nissi, pengakuan terhadap bahasa isyarat dan cara komunikasi yang berbeda merupakan bagian krusial dari penghargaan terhadap pendapat anak.
“Anak-anak penyandang Tuli memiliki beragam cara berkomunikasi. Tidak semua menggunakan bahasa isyarat atau berbicara verbal. Karena itu, pendapat mereka tetap harus dihargai, meski cara komunikasinya berbeda,” jelas Nissi.
Dengan pemahaman ini, Nissi mengingatkan bahwa menghargai suara anak berarti menjunjung prinsip inklusivitas sejak dini.
Anak dengar ataupun orangtua dengan anak tipikal perlu diajarkan untuk tidak mendiskriminasi teman sebaya yang memiliki keterbatasan pendengaran agar semua anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang adil dan setara.
Nissi menjelaskan, anak-anak penyandang Tuli memiliki keragaman cara berkomunikasi. Tidak semua dari mereka menggunakan bahasa isyarat atau berbicara secara verbal. Oleh karena itu, menurut dia, pendapat anak, apa pun bentuk komunikasinya, harus tetap dihargai.
Bagi Nissi, anak dengan disabilitas berhak atas kehidupan, pendidikan, dan pertemanan yang layak.
Ia juga mendorong pemerintah untuk mengakui bahasa isyarat sebagai bagian dari identitas budaya dan bahasa penyandang Tuli serta memberikan akses pendidikan bagi semua penyandang disabilitas agar potensinya berkembang.
Hal tersebut sesuai dengan konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities/UNCRPD).
“Dalam konteks pendidikan, saya berharap, para praktisi menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini dan memastikan anak-anak Tuli memiliki akses terhadap pendidikan yang beragam dan inklusif tanpa diskriminasi,” katanya.
Menurut Nissi, pemerintah dapat menerapkan praktik pedagogis berbasis bukti serta melibatkan penyandang Tuli dalam penyusunan kebijakan pendidikan. Salah satunya adalah dengan memasukkan bahasa isyarat Indonesia dalam kurikulum nasional.
Bagi Nissi, bahasa isyarat bukan sekadar alat komunikasi. Ia melihatnya sebagai jembatan keadilan yang akan memudahkan masyarakat memahami keberagaman.
“Kita harus ingat bahwa bahasa pertama yang kuat berperan penting mendukung kemampuan anak-anak Tuli untuk belajar dan berkembang maksimal. Tanpa akses ini, hak-hak anak-anak Tuli tidak dapat terpenuhi,” ungkapnya.
Ia pun menyambut baik rencana pemerintah memasukkan bahasa isyarat ke dalam kurikulum nasional dan menjadikannya salah satu syarat seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) atau sekolah kedinasan.
“Ini terobosan besar untuk layanan publik yang setara dan inklusif. Bayangkan jika layanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, hingga darurat bisa berkomunikasi dengan Tuli. Tidak ada lagi hambatan komunikasi yang menghalangi hak dasar mereka. Saya akan terus memantau keseriusan pemerintah,” kata Nissi.
Ia melanjutkan, bahasa isyarat juga sebaiknya dikenalkan sejak dini agar anak-anak tumbuh dengan empati.
“Generasi yang terbiasa berinteraksi dengan penyandang Tuli akan lebih mudah membangun masyarakat yang inklusif,” ujarnya.
Sebagai warga negara, Nissi berharap, Indonesia memandang disabilitas sebagai bagian penting dari keberagaman, bukan obyek belas kasihan.
Akses pendidikan, kesehatan reproduksi, kesempatan kerja, hingga ruang partisipasi pengambilan keputusan bagi perempuan penyandang Tuli harus diperluas.
“Inklusivitas bukan hadiah. Akses bukan pilihan. Inklusivitas dan akses adalah hak,” tegasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.