Kisah Martin Maulia, dari Pegawai Kantoran Menjadi Penjaga Budaya Betawi Megapolitan 27 Juni 2025

Kisah Martin Maulia, dari Pegawai Kantoran Menjadi Penjaga Budaya Betawi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Juni 2025

Kisah Martin Maulia, dari Pegawai Kantoran Menjadi Penjaga Budaya Betawi
Tim Redaksi
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com
– Dari sebuah ruang kecil di Jalan Jati 11, RT.03/RW.09, Pondok Kacang Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Martin Maulia (35) mengubah tumpukan limbah menjadi karya budaya.
Berbekal tekad dan rasa cintanya terhadap
Betawi
, dia membangun
Sanggar Rifki Albani
, sebuah sanggar seni yang kini dikenal hingga ke luar negeri.
Semuanya dia mulai sendiri, tanpa guru, tanpa modal, hanya bermodal semangat dan kasih kepada anaknya yang diberi nama Rifki Albani, yang kemudian diabadikan sebagai nama sanggar.
Berawal pada tahun 2008. Saat itu, Martin masih kerja di Kementerian Perdagangan, sebagai IT freelance, di lantai 9, Direktorat Impor Daglu, Jakarta Pusat.
Lokasi tempatnya bekerja tidak jauh dari ikonnya ibu kota Jakarta, sehingga setiap istirahat selalu menyempatkan datang ke Monas.
“Kebetulan kalau lagi jam istirahat kerja, saya tuh kadang ke Monas. Nah, terinspirasi mulai dari situ,” ujar Martin kepada Kompas.com, Jumat (26/6/2025).
Martin selalu memakai waktu istirahatnya untuk ke Monas. Namun di sana, dia heran lantaran tidak ada satu pun penjual yang memajang ikon budaya Jakarta, Ondel-ondel.
Justru yang terlihat hanya ada miniatur Monas atau Wayang Golek. Tak ada yang dari para penjual itu memajang Ondel-ondel untuk ditawarkan ke pembeli.
Dari rasa penasaran itu, Martin akhirnya mencoba untuk membuat miniatur ondel-ondel sendiri. Menggunakan bahan sederhana, dia bereksperimen dengan botol plastik dan fiberglass.
Semuanya itu, dikerjakan sendiri dari rumah. Tanpa bantuan siapapun.
Hasil karyanya dipasarkan melalui situs rifkialbani.com, yang dibuatnya sendiri dari kemampuannya di bidang IT.
Lambat laun, usahanya berkembang. Permintaan miniatur Ondel-ondel meningkat. Bahkan, dia tak menyangka, hasil karya tangannya itu bisa terjual hingga ke luar negeri.
“Pesanannya tuh sampai ke Frankfurt, Jerman; Canberra, Australia; Singapura, bahkan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, kita ada galeri, kerja sama galeri dengan Plaza Bali,” kata dia dengan bangga.
Setelah melihat hasil usahanya berkembang, Martin memutuskan untuk membuka Sanggar Rifki Albani dengan karya utamanya adalah miniatur Ondel-ondel.
Akhirnya, pada 2010 Martin memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya.
Keputusannya itu mendapat penolakan dari keluarganya. Pasalnya, pihak keluarga kecewa, Martin yang sudah memiliki pekerjaan yang bagus, justru memilih
resign
.
Namun, dia tidak menggubrisnya dan memilih fokus pada usahanya saja. Martin yakin usahanya akan terus berkembang.
Hal itu dia buktikan. Permintaan meningkat, dan Martin mulai kewalahan menerima pemesanan miniatur Ondel-ondel. Akhirnya, dia merekrut anak-anak muda di sekitar Meruya.
Pelan-pelan dan sabar, dia mulai mengajarkan kepada anak-anak muda itu cara membuat miniatur ondel-ondel.
Hasil penjualan dipakai untuk membayar rekan-rekan yang direkrutnya serta melebarkan sayap sanggar besutannya ke bidang musik khas Betawi.
Bagi Martin, sanggar bukan hanya tempat produksi miniatur Ondel-ondel. Ia mulai menjajaki dunia musik daerah dengan alat musik tradisional.
Tanpa modal besar, Martin menyiasati biaya dengan menjual hasil karyanya dalam sistem lelang.
Keuntungan dari penjualan miniatur diputar kembali untuk membeli alat musik tradisional seperti gambang dan kromong, yang juga dipelajari secara otodidak.
“Gambang itu saya beli dari hasil lelang miniatur, harganya Rp 4,5 juta. Kromong Rp 10 juta. Saya pelajari sendiri karena nggak tahu harus cari guru ke mana,” kenang dia.
Satu per satu alat musik tradisional khas Betawi itu dipelajari. Mulai dari tehyan, kongahyan, hingga gambang kromong.
Alat musiknya Martin dapati dengan cara jual beli. Misal, alat musik pertama yang dibeli adalah Gambang.
Setelah itu, dia mempelajari alat musik Gambang. Jika sudah menguasai, alat musik Gambang dijual untuk membeli alat musik tradisional khas Betawi lainnya.
Satu per satu alat musik itu dia pelajari. Hasilnya, dia salurkan ke anak-anak Sanggar Rifqi Albani.
Bahkan, beberapa dari mereka kini menjadi pemain tetap sanggar untuk pertunjukan musik Betawi dan pengiring lenong.
“Kita jalan sambil belajar. Saya bikin sistem: yang jago main ondel-ondel bisa naik kelas ke gambang kromong. Belajarnya langsung di jalan, tapi dibayar juga,” kata Martin sambil tertawa.
Tak hanya miniatur dan musik, sanggar ini juga memproduksi alat musik sendiri dari limbah.
Martin bahkan menciptakan cetakan topeng ondel-ondel khas yang kini banyak ditiru di jalanan Jakarta, dan dia mengaku tidak keberatan, justru bangga karena produknya menjadi acuan.
Kini, meski produksi ondel-ondel sudah banyak ditiru dan pesaing makin banyak, Martin justru melihatnya sebagai keberhasilan.
Ia tidak merasa tersaingi, malah saling bantu, bahkan jadi
reseller
bagi pengrajin lain.
“Kalau saya nggak bisa produksi, tinggal ambil dari teman-teman. Saya jualin lagi. Semua jadi jalan rezeki,” tutur dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.