Kini, Pemuda Bersumpah Tanpa Keteladanan

Kini, Pemuda Bersumpah Tanpa Keteladanan

Kini, Pemuda Bersumpah Tanpa Keteladanan
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
SEMBILAN
puluh tujuh tahun setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bangsa ini masih sibuk merayakannya dengan upacara dan pidato yang sama.
Sementara makna persatuan yang dulu diperjuangkan generasi muda kini terasa asing di tengah kepemimpinan yang kehilangan teladan.
Generasi muda kini hidup dalam dunia yang jauh berbeda. Mereka tumbuh di tengah ketimpangan ekonomi, ketidakpastian kerja, dan sistem sosial yang menua sebelum memberi mereka kesempatan.
Di saat pemerintah menuntut idealisme, kejujuran, dan nasionalisme dari generasi muda, mereka justru jarang diberi figur yang dapat diteladani.
Sumpah untuk bersatu menjadi simbol yang kehilangan penuntun moral karena ruang kepemimpinan publik semakin miskin contoh.
Generasi muda bukan tidak peduli pada bangsa, tetapi mereka hidup dalam kondisi yang membuat kepedulian terasa tidak cukup.
Data Badan Pusat Statistik (BPS, Statistics of Indonesian Youth 2024) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pemuda usia 15–24 tahun mencapai 16,3 persen, tertinggi di Asia Tenggara.
Sekitar 63 persen pekerja muda berada di sektor informal dengan pendapatan di bawah upah minimum.
Harga rumah meningkat hampir 12 kali lebih cepat ketimbang pertumbuhan upah rata-rata selama dekade terakhir.
Biaya kuliah naik 8 persen per tahun, sementara lapangan kerja berkualitas semakin sedikit.
Di tengah tekanan ini, anak muda dituduh tidak tahan banting, padahal struktur ekonomi yang membuat daya juang mereka menjadi tak terlihat.
Generasi boomer yang kini mendominasi panggung politik dan birokrasi sering lupa bahwa mereka tumbuh dalam masa ketika negara menyediakan subsidi pendidikan, pekerjaan stabil, dan harga kebutuhan dasar masih rasional. Kini semua itu telah hilang.
Ironisnya, generasi yang pernah diuntungkan sistem itu pula yang justru paling keras menilai generasi penerusnya secara negatif.
Mereka menuntut keteladanan dari bawah, tetapi lupa bahwa keteladanan harus dimulai dari atas.
Bagi banyak anak muda, negara kini tidak lagi tampak sebagai pelindung atau pengarah moral, melainkan sebagai institusi yang sibuk menegur dan mencari kambing hitam.
Presiden Prabowo Subianto, yang seharusnya menjadi figur pemersatu bangsa, terlalu sering tampil sebagai konfrontator moral.
Dalam berbagai pidato, ia menegur rakyat dengan nada tinggi, menyalahkan masyarakat karena tidak bersyukur, dan menepis kritik sebagai bentuk ketidakpahaman terhadap kebijakan negara.
Gaya komunikasi seperti ini memperlihatkan relasi kuasa yang timpang: pemimpin memosisikan diri sebagai sumber tunggal kebenaran, sementara rakyat hanya merupakan pendengar yang harus menerima.
Ketika seorang presiden merasa selalu benar dan masyarakat selalu salah, di situlah keteladanan berhenti.
Bahaya dari model seperti ini terletak pada efek reproduksinya. Ketika presiden bersikap tidak mau dikritik, pejabat di bawahnya akan meniru.
Menteri meniru gaya marah di depan publik; kepala daerah meniru gaya menyalahkan rakyat; rektor meniru gaya menggurui mahasiswa.
Dalam waktu singkat, sistem kekuasaan berubah menjadi rantai peniruan tanpa refleksi.
Ketegasan hanya bahasa ikut-ikutan belaka. Dari pusat hingga daerah, masyarakat menyaksikan pejabat yang memamerkan kemarahan, bukan ketenangan; pembenaran, bukan tanggung jawab.
Dalam kondisi seperti ini, kepercayaan publik tidak mungkin tumbuh karena contoh yang baik sudah berhenti di puncak.
Zygmunt Bauman dalam
Liquid Modernity
(2000) menyebut masyarakat modern sebagai dunia yang kehilangan stabilitas moral.
Ketika figur publik tidak konsisten antara kata dan tindakan, rakyat akan menggantinya dengan budaya performa.
Kebenaran bergeser menjadi tontonan, dan keaslian diganti oleh kepiawaian memainkan citra. Pemimpin tampil bukan untuk memimpin, tetapi untuk dipertontonkan.
Media sosial memperkuat ilusi ini. Anak muda tumbuh di tengah masyarakat yang menilai keaslian bukan dari integritas, tetapi dari aneka gaya.
Christopher Lasch dalam
The Culture of Narcissism
(1979) menjelaskan bahwa ketika masyarakat kehilangan figur panutan, individu akan mencari pengakuan melalui citra diri.
Fenomena ini tampak dalam cara banyak anak muda mengekspresikan diri di dunia digital.
Mereka sering dicemooh sebagai generasi narsistik, tetapi sebenarnya mereka sedang mengisi kekosongan simbolik yang ditinggalkan oleh negara.
Mereka belajar dari contoh yang mereka lihat. Jika pejabat marah di depan kamera dan tetap mendapat tepuk tangan, maka mindset yang terbentuk adalah performa memang lebih dihargai daripada integritas.
Jika pejabat mengaku paling benar dan kebal kritik, maka kejujuran tampak seperti kelemahan.
Pemerintah sering berbicara tentang gotong royong dan nasionalisme, tetapi dalam praktiknya lebih suka menimpakan kesalahan kepada masyarakat.
Ketika terjadi kemacetan, rakyat disalahkan karena tidak tertib. Ketika harga pangan naik, rakyat disalahkan karena tidak efisien. Ketika ada kegelisahan politik, media sosial disalahkan karena dianggap provokatif.
Dalam setiap masalah, yang bersalah selalu masyarakat; yang benar selalu negara.
Padahal, inti dari pemerintahan yang bermoral adalah kesediaan untuk bertanggung jawab terlebih dahulu sebelum menuntut tanggung jawab orang lain.
Pierre Bourdieu dalam
Outline of a Theory of Practice
(1977) menyebut bahwa manusia bertindak dalam kerangka habitus, yakni kebiasaan sosial yang dibentuk oleh struktur kekuasaan.
 
Ketika struktur itu mengajarkan bahwa menyalahkan lebih aman daripada mengakui salah, maka seluruh kebiasaan sosial akan mengikuti pola itu.
Inilah yang terjadi di Indonesia hari ini. Dari politik hingga pendidikan, kita menyaksikan budaya menyalahkan mengakar sebagai norma.
Pemimpin yang memaki rakyat dianggap tegas, sedangkan pemimpin yang mau mendengar justru dianggap lemah.
Dalam jangka panjang, bangsa akan kehilangan kemampuan untuk belajar dari kesalahan karena tidak ada yang mau mengakuinya.
Generasi muda akhirnya tumbuh di tengah kekacauan simbolik ini. Mereka tidak kehilangan moralitas, tetapi kehilangan konteks untuk menghidupkannya. Mereka tidak kehilangan cita-cita, tetapi kehilangan ruang untuk memperjuangkannya.
Banyak di antara mereka yang memilih diam bukan karena apatis, tetapi karena lelah menghadapi sistem yang tidak mendengar dan tidak menghargai.
Ada pula yang memilih jalur sendiri, membangun komunitas sosial, gerakan lingkungan, koperasi digital, atau platform pendidikan daring, sebagai cara baru untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan tanpa harus menunggu izin dari negara.
Data Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa meskipun hanya 28 persen anak muda tertarik pada partai politik, lebih dari 70 persen terlibat dalam kegiatan sosial berbasis komunitas.
Mereka mungkin tidak mempercayai elite politik, tetapi mereka masih mempercayai solidaritas. Artinya, semangat kebangsaan belum mati; ia hanya mencari bentuk baru yang lebih jujur.
Namun, jika pemerintah terus memperlakukan mereka sebagai ancaman atau objek penghakiman, maka koneksi moral antara negara dan rakyat muda akan semakin retak.
Krisis keteladanan yang terjadi sekarang memperlihatkan kegagalan moral institusional.
Negara lebih sibuk menjaga citra ketimbang menegakkan teladan. Dalam situasi ini, tuntutan moral dari pemimpin kepada rakyat menjadi kehilangan bobot.
Setiap seruan untuk bersatu terdengar hampa ketika yang menyerukan tidak memberi contoh kesediaan untuk berubah.
Seorang Presiden yang marah di depan kamera tidak sedang mengajar disiplin, melainkan menunjukkan kehilangan kendali atas kepercayaan. Ia bukan sedang memimpin bangsa, tetapi sedang menegaskan jarak antara dirinya dan rakyatnya.
Bahaya paling serius dari hilangnya keteladanan ialah efek psikologisnya terhadap generasi muda.
Dalam teori Bauman, modernitas cair melahirkan masyarakat yang kehilangan jangkar moral. Anak muda tumbuh dengan banyak tuntutan, tetapi sedikit panduan.
Mereka diminta disiplin, tapi melihat pejabat korup; diminta jujur, tapi menyaksikan kebohongan di televisi; diminta mencintai bangsa, tapi melihat kemewahan yang tidak bisa mereka capai.
Dalam kondisi seperti itu, moralitas tidak lagi terasa sebagai panggilan bersama, tetapi sebagai beban yang sepihak.
Krisis hanya bisa dipulihkan dengan contoh atau teladan. Jika teladan adalah figur pemimpin tertinggi, maka Presiden harus menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan panggung, melainkan tanggung jawab. Begitu pun pejabat lainnya.
Anak muda sebenarnya butuh dilibatkan dengan kepercayaan. Jika pejabat terus tampil sebagai figur yang menolak kritik dan melempar beban moral kepada rakyat, maka gaya kepemimpinannya akan menjadi cermin yang buruk bagi bangsa.
Kepala daerah akan belajar bahwa menegur rakyat lebih mudah daripada memperbaiki kebijakan. Pejabat publik akan belajar bahwa marah di depan kamera lebih efektif ketimbang bekerja dalam diam.
Dalam waktu singkat, seluruh birokrasi akan meniru cara yang sama, dan generasi muda akan menyaksikan bagaimana kekuasaan semakin kehilangan kebijaksanaan. Mereka akan belajar bahwa kemarahan adalah bahasa resmi negara.
Namun, harapan belum sepenuhnya hilang. Di tengah semua kekecewaan itu, masih banyak anak muda yang memilih jalan reflektif.
Mereka tidak menunggu teladan dari atas, melainkan membangunnya dari bawah. Komunitas pendidikan gratis, gerakan sosial digital, inisiatif lingkungan, hingga proyek ekonomi solidaritas terus bermunculan di berbagai kota.
Di situ lahir bentuk keteladanan baru, yakni kesediaan untuk menolong tanpa pamrih, bekerja lintas identitas, dan menjaga integritas dalam ruang kecil dan tidak terekspos sekalipun.
Sumpah Pemuda dulu adalah pernyataan untuk bersatu sebagai bangsa. Kini sumpah itu perlu diperbarui menjadi janji untuk saling percaya.
Generasi muda perlu percaya bahwa suara mereka sesungguhnya berarti, dan generasi tua perlu percaya bahwa yang muda bukanlah ancaman.
Begitu kepercayaan publik runtuh, moral negara ikut retak. Pemimpin yang tak mau memberi contoh bukan hanya gagal memimpin, tetapi sedang membiarkan masyarakat tumbuh tanpa pedoman. Dari situ, hilangnya keteladanan berubah menjadi awal disorientasi bangsa.
Sebuah bangsa tidak bisa hidup hanya dari kebanggaan masa lalu. Ia harus memberi alasan moral bagi generasi muda untuk tetap percaya pada masa depan.
Presiden, menteri, kepala daerah, wakil rakyat hingga rektor dan semua yang berada di puncak kekuasaan harus mengerti bahwa keteladanan adalah satu-satunya bentuk kepemimpinan yang tidak bisa dipalsukan.
Ia tidak lahir dari kemarahan dan arogansi, tetapi dari kesediaan untuk belajar bersama rakyat.
Bila negara ingin generasinya bersumpah kembali untuk Indonesia, maka negara harus terlebih dahulu menepati sumpahnya sendiri, dengan menjadi teladan yang adil, rendah hati, dan manusiawi. Semoga!
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.