Ia pun secara blak-blakan menuturkan bahwa karena urusan sepele itu sudah dipolitisasi maka isunya terus menggelinding.
“Ketika urusan sepele sudah dipolitisasi apakah orang politik itu punya etik? Ini kan sok bicara etik, apakah mereka juga punya etik? Saya gak membela, saya juga menjadi bagian dari korban apa yang dilakukan Gus Miftah,” imbuhnya.
Menurutnya, atmosfer yang dialami Gus Miftah dalam pengajian itu merupakan hal biasa. Bahkan, ia mengaku pernah mengalaminya juga.
“Ketika menghadapi atmosfer di lapangan seperti itu biasa. Bahkan saya pernah orang stres naik ke panggung. Bahkan ada maling diuber-uber larinya ke panggung, saya lagi ceramah,” terangnya.
“Lalu bagaimana posisi kita di situ? Di mana kita berbicara, ada posisinya, ada tempatnya memang,” sambung dia.
Kata KH Sumarno, saat menjabat sebagai utusan khusus Presiden, ia harus lebih mampu menjaga setiap kalimat-kalimat yang disampaikan ke jemaah.
“Mustinya Gus Miftah juga urut dada, oh sekarang ini saya sudah menjadi pejabat publik. Gak layak lagi kayak kemarin, walaupun dia punya ciri khas seperti itu,” cetusnya.
Meskipun sudah menjadi ciri khas, ia berpendapat bahwa Gus Miftah harus mengurangi kebiasaan tersebut.
“Tolong ciri khas, tensinya, dikurangi dikit aja. Ini efek dominonya loh kepada dai, mubaligh, kiai, ustaz,” bebernya.
Ia pun menyinggung bagaimana Perdana Menteri Malaysia ikut memberikan komentarnya mengenai isu tersebut.
“Sampai tadi dibilang Perdana Menteri Malaysia sotoy menilai. Aneh saya bilang. Urusan apa Malaysia? Bolanya aja kagak benar. Saya juga gak setuju kalau mereka ikut campur urusan dalam negeri kita,” timpalnya.