FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wakil Rais ‘Aam PBNU, KH Afifuddin Muhajir dikenal luas sebagai ulama besar uṣūl al-fiqh dan fiqh. Keilmuannya mendalam, metodologinya rapi, dan pertimbangannya selalu berpijak pada kaidah-kaidah ushul yang kokoh.
Di pesantren maupun di ruang-ruang diskusi akademik, beliau menjadi rujukan ketika persoalan hukum membutuhkan kejernihan analisis dan ketelitian nalar.
“Integritas Kiai Afif tidak pernah diragukan. Beliau tidak bermain politik praktis, tidak menumpangkan kepentingan, dan tidak pula menjadikan otoritas ulama sebagai alat tekanan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi,” ujar Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan New Zealand, Nadirsyah Hosen dalam keterangannya di X, Senin (8/12).
Pandangannya jernih karena bersih dari motif selain kemaslahatan jam’iyyah. Lebih dari itu, menurut Gis Nadir, KH Afifuddin sangat terbuka terhadap perbedaan pandangan. Beliau mau mendengar, mau mempertimbangkan argumen baru, bahkan kerap bertanya tentang sains, isu-isu digital, dan berita-berita kontemporer kepada saya.
“Dari sini terlihat: beliau bukan kiai yang manut pada informasi, tetapi ulama yang terus belajar dan memverifikasi,” tegas Gus Nadir.
Dalam konflik internal PBNU yang melibatkan Ketua Umum, sikap KH Afifuddin menunjukkan ketegasan seorang ulama ushul. Setelah menimbang secara teliti berdasarkan prinsip-prinsip fiqh dan etika organisasi, KH Afifuddin menyatakan bahwa Ketua Umum telah melakukan pelanggaran besar yang mencederai martabat jam’iyyah dan karena itu harus diberhentikan.
