Ketua Komisi VII Kritik Pembayaran Hanya Non-tunai: Menurut UU, Harus Terima Cash

Ketua Komisi VII Kritik Pembayaran Hanya Non-tunai: Menurut UU, Harus Terima Cash

Ketua Komisi VII Kritik Pembayaran Hanya Non-tunai: Menurut UU, Harus Terima Cash
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengkritik kebijakan sejumlah pengusaha yang hanya menerima pembayaran non-tunai (
cashless
) karena menyulitkan masyarakat yang belum memiliki akses perbankan (
unbankable
).
Kritikan itu disampaikan Saleh menyusul insiden seorang nenek yang tidak dapat membeli roti di sebuah halte Transjakarta karena pemilik gerai menolak
pembayaran tunai
.
Ia menilai, aturan yang berlaku mewajibkan setiap pihak menerima pembayaran menggunakan uang tunai, kecuali jika terdapat dugaan bahwa uang tersebut palsu.
“Kasihan dia ditinggalkan zaman. Padahal, menurut UU, setiap orang harus menerima pembayaran pakai uang
cash
. Hanya dikecualikan jika uang tersebut diduga palsu,” kata Saleh dalam keterangannya, Kamis (25/12/2025).
Saleh menuturkan, apabila ada dugaan uang palsu, pihak yang menolak pembayaran wajib membuktikannya.
“Jika tidak ada bukti bahwa uangnya palsu, tidak ada alasan untuk menolak pembayaran
cash
,” ucap dia.
Adapun aturan yang dimaksud Saleh tertuang pada UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang, khususnya di pasal 16 ayat (1), serta pasal 33 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam Pasal 33 ayat (2), secara tegas menyatakan “Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00”.
“Ketentuan yang termaktub di dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 di atas jelas memiliki konsekuensi hukum,” tutur Saleh.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum DPP PAN ini meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) menindaklanjuti persoalan tersebut hingga ke ranah hukum.
“Menteri Keuangan dan Gubernur BI harus turun tangan. Apalagi, sudah banyak orang yang kritis dan mencermati masalah ini. Jangan lemah dalam menegakkan aturan. Apalagi, aturan tersebut secara eksplisit disebutkan di dalam Undang-undang,” tandas Saleh.
Sebelumnya diberitakan, beredar video yang menyebutkan bahwa transaksi seorang nenek ditolak salah satu gerai Roti O karena membayar menggunakan uang tunai.
Peristiwa tersebut memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah gerai Roti O masih menyediakan opsi pembayaran tunai atau telah sepenuhnya beralih ke sistem non-tunai.
Peristiwa tersebut viral di media sosial dan menuai kritik luas.
Selepas itu, Manajemen Roti O menyampaikan permintaan maaf atas penolakan transaksi tunai yang dialami seorang perempuan lanjut usia di salah satu gerainya.
“Kami mohon maaf atas kejadian yang beredar dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan,” tulis Roti O dalam unggahan di akun Instagram resminya, Minggu (21/12/2025).
RotiO menjelaskan, penggunaan aplikasi dan transaksi non-tunai di gerainya bertujuan memberi kemudahan sekaligus menawarkan berbagai promo dan potongan harga bagi pelanggan.
Meski demikian, perusahaan mengaku telah melakukan evaluasi internal menyusul insiden itu.
“Saat ini kami sudah melakukan evaluasi internal agar ke depannya tim kami dapat memberikan pelayanan yang lebih baik,” lanjut pernyataan itu.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menegaskan uang tunai tetap sah dan penting sebagai alat pembayaran di Indonesia.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso mengatakan, dorongan penggunaan transaksi non-tunai tidak berarti meniadakan peran uang tunai.
“Keragaman demografi dan tantangan geografis serta teknologi Indonesia membuat uang tunai masih sangat diperlukan dan dipergunakan dalam transaksi di berbagai wilayah,” kata Denny saat dihubungi
Kompas.com
, Minggu (21/12/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.