Ketimpangan Kepemilikan Tanah (Bagian I)

Ketimpangan Kepemilikan Tanah (Bagian I)

Ketimpangan Kepemilikan Tanah (Bagian I)
Saat ini berkiprah sebagai akademisi/peneliti di Universitas Indonesia. Tertarik dengan berbagai topik ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan internasional, Asia Tenggara, monitoring-evaluasi, serta isu interdisiplin. Doktor ekonomi dari UNU-MERIT/Maastricht University (Belanda). Alumni generasi pertama beasiswa LPDP master-doktor. Pernah bekerja di ASEAN Secretariat, Indonesia Mengajar, dan konsultan marketing. Bisa dihubungi di https://www.linkedin.com/in/aripmuttaqien/
KETIMPANGAN
merupakan salah satu isu utama dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur
ketimpangan
adalah indeks Gini.
Berdasarkan data dari BPS, nilai indeks Gini di Indonesia tidak menunjukkan penurunan yang signifikan dalam satu setengah dekade terakhir.
Pada tahun 2010, indeks Gini tercatat sebesar 0,38. Selanjutnya, selama periode 2011 hingga 2015, angkanya meningkat menjadi 0,41.
Pada tahun 2016, indeks Gini mulai menurun menjadi 0,40 dan terus mengalami penurunan secara bertahap hingga mencapai 0,38 pada tahun 2024.
Sayangnya, indeks Gini yang dirilis oleh BPS menggunakan indikator pengeluaran per kapita. Penggunaan indikator pengeluaran memang memiliki sejumlah keterbatasan.
Di sisi lain, harus diakui bahwa keterbatasan data dengan kualitas yang lebih baik, khususnya untuk indikator pendapatan dan kepemilikan aset, masih menjadi tantangan tersendiri.
Indeks Gini yang dihitung berdasarkan indikator pengeluaran umumnya menghasilkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan indeks Gini yang menggunakan variabel pendapatan.
 
Hal ini selaras dengan temuan Mark Aguiar dan Mark Bils dalam paper berjudul “Has consumption inequality mirrored income inequality?” yang terbit di American Economic Review pada tahun 2015.
Merujuk berbagai literatur ilmiah, sebagai contoh, Frank Cowell, Stephen Jenkins, atau François Bourguignon, pendapatan rumah tangga terdiri dari berabagai komponen.
Komponen utama biasanya pendapatan dari gaji atau upah (
salary income atau wage income
). Komponen ini cenderung lebih stabil di sektor formal, terutama bagi pekerja kantoran.
Sebaliknya, pendapatan dari sektor informal, seperti buruh tani, pekerja lepas, pengemudi ojek, atau pekerjaan harian lainnya, cenderung bersifat fluktuatif dan tidak menentu.
Komponen lain dari pendapatan rumah tangga mencakup pendapatan bisnis (
business income
), pendapatan investasi (
investment income
), dan pendapatan dari subsidi atau bantuan sosial (
benefit income
). Sementara itu, pajak bisa menjadi komponen yang mengurangi pendapatan.
Pendapatan bisnis berasal dari aktivitas usaha atau pengelolaan perusahaan yang dijalankan oleh anggota rumah tangga.
Pendapatan investasi diperoleh dari hasil pengelolaan aset, seperti kepemilikan saham, penyewaan properti, dan bentuk investasi lainnya.
Sementara itu, pendapatan dari subsidi atau bantuan sosial umumnya berasal dari program bantuan pemerintah, yang terutama ditujukan bagi rumah tangga pada kelompok desil bawah.
Moritz Kuhn, Moritz Schularick, dan Ulrike Steins menulis paper berjudul “Income and Wealth Inequality in America, 1949-2016” yang terbit di
Journal of Political Economy
pada tahun 2020.
Temuan mereka menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga kaya memang memiliki distribusi aset lebih besar daripada kelompok nonkaya.
Mereka menemukan bahwa ketimpangan kepemilikan aset adalah lebih besar daripada ketimpangan pendapatan.
Pernyataan ini sejalan dengan komentar Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nusron Wahid, dalam diskusi di Jakarta Selatan pada 13 Juli 2025.
Ia mengungkapkan bahwa sebanyak 48 persen dari 55,9 juta hektar tanah bersertifikat di Indonesia dikuasai oleh hanya 60 keluarga.
Situasi ini menjadi preseden buruk yang memperburuk ketimpangan kepemilikan aset di Indonesia. Bayangkan, dari lebih dari 70 juta rumah tangga di Indonesia, 60 keluarga tersebut hanya mewakili sekitar 0,000086 persen.
Kepemilikan tersebut umumnya tidak dimiliki atas nama individu, melainkan melalui entitas perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini memiliki struktur kepemilikan berupa pemegang saham.
Jika ditelusuri hingga ke tingkat pemegang saham utama di perusahaan induk, maka akan terlihat siapa aktor-aktor dominan di balik kepemilikan aset tersebut.
Jika dikumpulkan di satu tempat, 60 keluarga tersebut bahkan hanya setara dengan satu Rukun Tetangga (RT). Hal ini menunjukkan betapa timpangnya distribusi
kepemilikan tanah
di Indonesia.
Tak mengherankan jika harga tanah dan properti terus meningkat secara signifikan setiap tahun.
Dalam kondisi seperti ini, mekanisme pasar tidak lagi bekerja secara ideal sebagai ajang pertemuan antara penjual dan pembeli dalam pasar persaingan bebas.
Akibatnya, akses terhadap kepemilikan rumah menjadi semakin terbatas, dan backlog perumahan pun tetap tinggi karena masih banyak rumah tangga yang belum memiliki rumah.
Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa ketimpangan kepemilikan aset memiliki tertinggi dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan pengeluaran.
Tanah umumnya merupakan aset paling berharga yang dimiliki oleh sebagian besar keluarga di Indonesia.
 
Sebagai contoh, jika kita meninjau Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari para pejabat, terlihat bahwa sebagian besar kekayaan mereka berupa harta tidak bergerak dalam bentuk tanah.
Dari sudut pandang lain, keluarga kelas menengah yang membeli rumah dan tanah melalui sistem kredit juga secara otomatis menempatkan sebagian besar kekayaannya pada aset tersebut.
Apalagi, saat ini, semakin sulit menemukan rumah dan tanah dengan harga di bawah Rp 1 miliar, yang menunjukkan tingginya nilai aset ini dalam struktur kekayaan rumah tangga. Ini menjadikan akses terhadap kepemilikan tanah dan rumah menjadi lebih sulit.
Sebagai penutup, Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah. Tanpa tindak lanjut yang jelas, kondisi ini akan menjadi lebih parah di masa depan.
Kebijakan yang disusun harus mencerminkan pemerataan kepemilikan tanah, dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan dan nilai inklusif.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.