Ketika Selawat Menjadi Jembatan Toleransi di Kampung Moderasi Jombang

Ketika Selawat Menjadi Jembatan Toleransi di Kampung Moderasi Jombang

Jombang (beritajatim.com) – Angin malam Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, membawa gema shalawat yang mengalun pelan. Di Dusun Ngepeh, ratusan warga duduk bersila, menyatu dalam lantunan doa. Di antara mereka tak hanya wajah-wajah muslim, tetapi juga umat Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Malam itu, perbedaan hanyalah warna, bukan sekat.

KH Nur Hadi atau yang akrab disapa Mbah Bolong, berdiri di depan hadirin. Suaranya lirih namun tegas, penuh kebapakan. “Bangsa Indonesia perlu bersyukur dengan kemerdekaan yang sudah diraih. Caranya dengan saling menghormati dan menghargai, meski berbeda agama yang dipeluk,” ucapnya, Selasa malam (2/9/2025).

Dusun kecil ini bukan sembarang dusun. Sejak 2024, Kementerian Agama telah menobatkannya sebagai Kampung Moderasi. Alasannya jelas: di satu hamparan tanah berdiri dua gereja, satu masjid, dan satu pura. Namun tak pernah sekalipun riak permusuhan muncul di antara warganya. Kerukunan di Ngepeh seolah diwariskan turun-temurun.

Acara Ngepeh Bershalawat malam itu adalah buktinya. Semua warga saling bergandeng tangan, ikut terlibat. Air mineral dan nasi kotak tak hanya datang dari tangan umat Islam, tapi juga dari keluarga non-muslim. “Ada yang menyumbang dari yang non-Islam,” tutur David Syaifullah, Modin berambut gondrong.

Sejak dua tahun lalu, shalawat di Ngepeh bukan hanya milik muslim, tapi juga ruang perjumpaan lintas iman. Semua tokoh agama diundang, tanpa terkecuali. “Kerukunan di Ngepeh tidak hanya jadi contoh di Jombang, tapi juga nasional bahkan internasional,” ucap Ali Imron, perangkat desa, yang disambut tepuk tangan gemuruh.

Di sudut acara, Wijiono, seorang umat Hindu, tampak larut dalam suasana. Ia duduk berbaur, meneguk air mineral yang sama, menyantap hidangan yang sama. “Terima kasih, kami merasa terhormat dan semoga kerukunan umat beragama di Ngepeh terus dijaga,” katanya tulus.

Malam itu, shalawat menjadi jembatan. Tidak ada kursi terpisah, tidak ada prasangka. Semua hanyut dalam suasana khidmat.

Warga lintas iman menghadiri Ngepeh Bersholawat

Mbah Bolong menutup dengan pesan penuh makna: “Jangan sampai perbedaan kita menjadi bermusuhan. Mensyukuri nikmat kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan, bukan pertikaian.”

Dan shalawat pun terus menggema, seakan menguatkan ikrar tak tertulis: di Ngepeh, kerukunan bukan hanya wacana, melainkan napas kehidupan sehari-hari. [suf]