Ketika Rakyat dan Polisi Bersatu Jadi Kekuatan Absolut Lawan Teror di Surabaya

Ketika Rakyat dan Polisi Bersatu Jadi Kekuatan Absolut Lawan Teror di Surabaya

Surabaya (beritajatim.com) – Pasca kericuhan yang terjadi di Surabaya pada Jumat-Sabtu, 29 hingga 30 Agustus 2025 kemarin, suasana kota Pahlawan belum kembali normal. Warga Surabaya yang masih dilanda rasa cemas akibat aksi pengrusakan dan pembakaran oleh oknum massa aksi demo kini masih harus menghadapi teror.

Teror pasca kerusuhan dilakukan oleh sekelompok orang itu melakukan penyerangan ke markas Brigade Mobil (Brimob) Jalan Nginden pada Minggu (31/8/2025) dini hari. Informasi yang dihimpun Beritajatim, kelompok penyerangan mengendarai lebih dari 10 sepeda motor. Mereka melempari markas Brimob dengan batu. Namun, aksi penyerangan itu dapat digagalkan petugas yang sedang berjaga. Dibantu oleh masyarakat sekitar.

Selain menghadapi kelompok teror yang belum teridentifikasi itu, masyarakat Surabaya juga dihadapkan dengan derasnya berita hoax di media sosial. Berita hoax yang tersebar di jagad dunia maya itu memiliki narasi menakut-nakuti. Selain itu, berita hoax yang menyebar juga menjadi pro dan kontra karena ada masyarakat yang meyakini kebenaran informasi hoax.

Berbagai kejadian tersebut tentu berdampak bagi kota Surabaya. Masyarakat menjadi takut untuk keluar rumah. Akibatnya, para pedagang kaki lima yang tidak memiliki fitur pesan online mengalami penurunan penghasilan. Pantauan Beritajatim, pada Minggu (31/8/2025) malam sampai Senin (1/9/2025) pagi, jalanan di Kota Surabaya sepi pengendara. Arus lalu lintas lengang hampir di seluruh jalanan Kota Surabaya. Sejumlah pedagang yang biasa berjualan malam terpantau tutup.

“Sepi mas. Karena memang masyarakat masih takut keluar malam. Takutnya seperti kemarin (kerusuhan),” kata Robi, salah satu penjual kopi keliling di Jalan Panglima Sudirman.

Namun rakyat Surabaya punya cara untuk mengurangi rasa khawatir dan mempercepat pemulihan situasi keamanan. Di tingkat kampung dan kecamatan, rakyat Surabaya bersatu dengan pihak kepolisian mendirikan pos-pos pengamanan. Dalam satu kecamatan di Surabaya, total warga yang ikut menyatu dengan polisi bisa mencapai 100 orang.

Bersatunya rakyat dan polisi terbukti efektif menggagalkan penyerangan kantor Polsek Wonokromo pada aksi hari Jumat (29/8/2025) malam. Saat itu, massa aksi terus membakar pos polisi dari pusat Surabaya menuju Bundaran Waru. Kantor Polsek Wonokromo yang berada di antara Jalan Darmo dan Ahmad Yani tentu turut menjadi sasaran.

Ratusan massa aksi lantas berusaha mendekati Polsek Wonokromo. Namun, penyerangan itu gagal karena puluhan warga sekitar Polsek Wonokromo bersatu dengan anggota polisi untuk melawan oknum massa aksi yang ricuh.

Oknum massa aksi yang ricuh itu lalu melakukan penyerangan kembali pada Minggu (31/8/2025) malam. Namun hasilnya tetap sama. Persatuan polisi dan rakyat jadi kekuatan absolut yang terbukti mampu melawan oknum massa aksi perusak Kota Surabaya.

“Masyarakat hadir dengan kesadaran sendiri. Mereka menyadari betul bahwa wilayah mereka tidak boleh ada perusuh dan harus dalam kondisi yang aman,” kata Hegy, Senin (1/9/2025).

Masyarakat Surabaya tidak ingin kecolongan lagi. Seperti saat pembakaran kantor Polsek Tegalsari dan Gedung Grahadi sisi Barat. Pasca ludesnya gedung dan barang-barang karena penjarahan, rakyat Surabaya memang was-was. Tapi mereka sadar jika hanya meratapi, tentu tak akan mengubah situasi.

“Kalau kita Hanya diam lalu mengeluh, tentu tidak merubah situasi. Sehingga dengan kesadaran sendiri kami masyarakat Sukolilo berkomunikasi dengan pihak kepolisian kemarin sepakat untuk bersatu menghadapi teror yang ada,” kata Jaka salah satu warga Keputih yang turut ikut melakukan penjagaan bersama anggota Polsek Sukolilo di Jalan Merr, Minggu (31/8/2025) malam.

Pantauan Beritajatim.com di sejumlah pos pengamanan rakyat dan polisi, warga dengan sukarela urunan untuk membiayai logistik yang dibutuhkan. Rakyat dan polisi membaur menjadi satu kesatuan. Tidak ada paksaan dari polisi kepada masyarakat untuk turut hadir di pos.

Masyarakat yang datang dan rela waktu tidurnya berkurang merupakan massa organik (asli). Tidak ada pengaturan atau permintaan khusus dari pihak kepolisian untuk mencapai kondisi tertentu. Polisi juga sadar, keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab yang harus dipikul apa pun risikonya. Apabila masyarakat dengan kesadaran mandiri turut serta membantu, maka persatuan antar rakyat dan polisi tentu menjadi kekuatan absolut.

Gabungan elemen masyarakat yang hadir di berbagai pos penjagaan kota Surabaya tidak memiliki kepentingan pribadi. Mereka hanya memiliki satu semangat yang sama. Yakni semangat ‘Jogo Suroboyo’. Atau dalam bahasa Indonesia artinya menjaga kota Surabaya. (ang/ian)