Ketika Kuasa Tak Lagi Butuh Nilai

Ketika Kuasa Tak Lagi Butuh Nilai

Ketika Kuasa Tak Lagi Butuh Nilai
Dosen Antropologi FISIP Unair
 
RUANG
publik sempat ramai membicarakan satu kalimat yang terdengar sederhana, namun menyimpan makna yang dalam: “Yang saya jilat menang dan berkuasa.” Kalimat itu muncul dari cuitan pejabat publik, yang seolah-olah dapat menjadi penanda jaman. Mungkin cuitannya tidak sengaja dapat menjadi cermin kejujuran atas kerja-kerja kekuasaan yang telah berlangsung lama—dan kini diterima dengan terbuka tanpa rasa malu.
Di balik kalimat tersebut, tersimpan kenyataan yang tidak asing. Dalam praktik sehari-hari, kedekatan dengan penguasa sering lebih menentukan daripada kemampuan seorang kandidat. Loyalitas personal lebih berharga daripada integritas. Jabatan publik, yang seharusnya menjadi ruang pelayanan, berubah menjadi hadiah atas kesetiaan. Praktik politik tidak lagi tentang gagasan, melainkan tentang posisi.
Etika sosial-politik tengah diuji ketika jabatan dipahami bukan sebagai amanah, melainkan sebagai hasil relasi kuasa. Ketika keberpihakan pada yang menang dianggap lebih penting daripada keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan, maka kepercayaan publik akan bergeser menjadi kalkulasi pribadi. Keadilan tidak lagi menjadi tujuan, melainkan efek samping yang bisa dinegosiasikan.
Etika bukan hanya aturan. Etika memiliki rasa; seperti rasa malu ketika melanggar kepercayaan, rasa bertanggung jawab saat diberi amanah, dan rasa hormat pada jabatan yang diembannya. Ketika rasa itu hilang, maka politik akan berubah menjadi suatu permainan. Siapa paling dekat, dia menang. Siapa paling keras memuji, dia naik. Siapa yang mempertanyakan, dia tersingkir.
Yang lebih mengkhawatirkan, praktik semacam ini mulai dianggap normal. Tidak lagi menimbulkan kegelisahan, dan menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Tak ada tabu untuk mengucap dan menjalani. Bahkan dapat dipakai sebagai strategi. Meskipun di balik strategi itu, tersimpan luka yang tidak terlihat. Luka pada kepercayaan publik. Luka pada harapan akan politik yang lebih baik.
Dalam masyarakat yang sehat, jabatan publik adalah ruang pelayanan. Bukan panggung untuk menunjukkan siapa yang paling dekat dengan penguasa. Tempat di mana nilai-nilai seperti kejujuran, kompetensi, dan keberpihakan pada rakyat diuji setiap hari.
Ketika jabatan berubah menjadi simbol kemenangan jaringan, bukan kemenangan gagasan, maka politik kehilangan maknanya. Ruang publik seharusnya menjadi tempat untuk mempertanyakan kekuasaan. Menjadi arena untuk menguji wacana. Ketika ruang itu dipenuhi oleh narasi yang membenarkan praktik oportunis, maka yang terjadi bukan sekadar krisis moral. Yang terjadi adalah krisis makna. Politik kehilangan daya simboliknya sebagai ruang perjuangan nilai. Berubah menjadi arena transaksi.
Dalam sistem yang menormalisasi praktik “menjilat,” kekuasaan tidak lagi dijalankan dengan tanggung jawab. Jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah. Politik tidak lagi dilihat sebagai perjuangan bersama. Yang tersisa hanyalah permainan posisi, di mana yang kuat menang dan yang lemah diam. Rasa malu seharusnya muncul ketika jabatan diperoleh bukan karena layak, tetapi karena dekat. Ketika pujian diberikan bukan karena kagum, tetapi karena ingin imbalan.
Ketika kekuasaan dijalankan bukan untuk rakyat, tetapi untuk memperkuat posisi pribadi yang tanpa rasa malu, maka politik akan kehilangan remnya. Melaju tanpa arah, tanpa etika. Masyarakat sebenarnya tahu mana yang pantas dan mana yang tidak. Tapi suara itu sering tenggelam. Bukan karena tidak ada, tetapi karena lelah. Lelah melihat politik yang terus berputar di tempat yang sama. Lelah berharap pada sistem yang tidak berubah.
Namun, harapan tidak boleh padam. Politik bisa berubah. Tapi perubahan tidak datang dari atas. Perubahan datang dari bawah. Dari cara berbicara. Dari cara memilih. Dari cara menolak praktik yang merusak.
Kekuasaan yang sehat lahir dari wacana yang sehat. Jika bahasa politik dipenuhi oleh kalkulasi dan ejekan, maka yang tumbuh adalah politik yang sinis. Politik semacam itu tidak bisa membawa perubahan. Hanya memperkuat yang sudah berkuasa. Bahasa politik perlu dibersihkan dari istilah yang merusak. Kata-kata seperti “menjilat” tidak boleh menjadi norma. Harus dikritisi, dibongkar, dan dipertanyakan. Jika tidak, maka politik akan terus dijalankan tanpa arah, tanpa nilai.
Politik bukan soal siapa yang dijilat. Politik adalah soal siapa yang berani menjaga makna. Jabatan bukan tempat untuk menunjukkan kedekatan. Jabatan adalah ruang untuk melayani. Pemimpin bukan objek pemujaan. Pemimpin adalah subjek pertanggungjawaban. Masyarakat punya hak untuk marah. Tapi lebih dari itu, masyarakat punya hak untuk menuntut. Menuntut agar jabatan publik diisi oleh mereka yang layak. Menuntut agar kekuasaan dijalankan dengan tanggung jawab. Menuntut agar politik kembali menjadi ruang nilai, bukan ruang transaksi.
Kalimat “yang saya jilat menang dan berkuasa” mungkin akan terus diingat. Tapi kalimat itu juga bisa menjadi titik balik. Titik di mana pertanyaan mulai muncul: apakah ini praktik politik yang diinginkan? Apakah ini cara hidup bersama yang layak dipertahankan? Jika jawabannya tidak, maka tugas bersama adalah membangun ulang. Bukan dengan kemarahan, tetapi dengan kesadaran. Bahwa politik yang sehat lahir dari masyarakat yang berani menjaga nilai. Bahwa kekuasaan yang bermartabat hanya mungkin jika semua ikut menjaganya.
Etika bukan barang mewah. Etika adalah fondasi. Tanpa etika, politik hanya akan menjadi panggung sandiwara. Dan dalam sandiwara seperti itu, yang tertawa bukan rakyat. Yang tertawa adalah mereka yang sudah tahu cara bermain. 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.